Perlindungan Data Konsumen Harus Jadi Prioritas Industri Fintech
Berita

Perlindungan Data Konsumen Harus Jadi Prioritas Industri Fintech

Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi diharapkan memberi kepastian hukum bagi pelaku usaha.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Perkembangan industri financial technology (fintech) semakin menarik perhatian saat ini. Tidak hanya segi bisnis, aspek hukum industri ini juga menjadi sorotan para pemangku kepentingan. Persoalan perlindungan konsumen merupakan salah satu bagian yang sangat berkaitan dengan fintech khususnya sejak industri ini mulai berkembang di Indonesia dalam lima tahun terkahir.

 

Penyalahgunaan data pribadi, penagihan bermasalah hingga bunga tinggi merupakan berbagai contoh persoalan yang menjadi keluhan masyarakat selaku konsumen terhadap industri ini. Memang persoalan tersebut juga disebabkan praktik fintech ilegal yang terus bermunculan meski pemblokiran telah dilakukan pemerintah.

 

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso menyampaikan pentingnya bagi perusahaan fintech mengutamakan perlindungan konsumen. Menurutnya, transaksi fintech yang dilakukan tanpa tatap muka meningkatkan risiko pelanggaran-pelanggaran tersebut khususnya sehungan data pribadi konsumen.

 

Dia menjelaskan dalam sektor jasa keuangan, pengaturan data pribadi konsumen fintech masih belum terlalu ketat dibandingkan industri lainnya seperti perbankan, asuransi dan pasar modal. Sehingga, dia menilai perlu ada aturan setingkat Undang Undang sebagai landasan hukum perlindungan data pribadi masyarakat.

 

"Perlindungan konsumen ini sangat penting khususnya perlindungan data pribadi. Kalau ada Undang Undang soal perlindungan data maka itu bisa melindungi masyarakat," jelas Wimboh dalam "Indonesia Fintech Summit and Expo 2019", Senin (23/9) di Jakarta.

 

Atas kondisi tersebut, dia melanjutkan data nasabah fintech berisiko disalahgunakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab.  Terlebih lagi, proses pembuktian di pengadilan juga masih sulit terhadap gugatan pelanggaran data pribadi.

 

Salah satu upaya mengisi kekosongan payung hukum tersebut, Wimboh menjelaskan pihaknya telah mengamanatkan kepada asosiasi fintech sebagai wakil pelaku usaha untuk membuat kode perilaku sehubungan perlindungan konsumen. Dalam kode perilaku tersebut diatur mengenai tanggung jawab perusahaan fintech dalam menjaga dan melindungi kerahasiaan data nasabah. Di sisi lain, Wimboh juga meminta agar masyarakat lebih sadar dalam menyebarluaskan data pribadi.

 

(Baca: Tantangan Industri Fintech, dari Risiko TPPU Hingga Kualitas SDM)

 

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Niki Santo Luhur menjelaskan pihaknya sangat berkomitmen melindungi kepentingan konsumen. Menurutnya, setiap perusahaan fintech harus menjalankan prinsip-prinsip etik seperti transparansi dan keamanan data. Selain itu, sehubungan dengan penagihan pinjaman, dia mengatakan setiap perusahaan fintech legal dilarang menggunakan kekerasan terhadap konsumen.

 

"Dari awal kami sudah buat kode etik. Kami pastikan dari segi infrastruktur kemanan data dan transparansi kepada nasabah. Ini penting. Lalu, penagihan jangan sampai ada kekerasan fisik.

 

Niki juga mengomentari regulasi perlindungan data pribadi. Menurutnya regulasi yang ada saat ini sudah cukup menjamin perlindungan data nasabah. Apabila ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, dia juga menyatakan pelaku usaha siap menjalankan amanat aturan tersebut.

 

"Industri siap jika harus server atau infrastruktur di indonesia. Tapi yang penting diterapkan sama kepada semua pelaku usaha. jangan sampai nanti ada yang tempatkan di luar negeri sedangkan pelaku usaha sudah ada yang bangun (server) dan sertifikasi di dalam negeri. Yang penting arahan UU itu jelas," pungkasnya. 

 

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Samuel Abrijani Pangerapan, menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada privasi di era digital. Dia menjelaskan saat seseorang mempublikasikan aktivitasnya secara otomatis terekam jejak digitalnya. Bahkan, saat seseorang bertransaksi secara online maka data pribadinya dipegang tiga pihak.

 

"Tidak ada privasi di internet. Dalam satu transaksi saja akan ada tiga pihak yang pegang data pribadi seseorang,” jelas Samuel, Kamis (19/9).

 

Atas kondisi tersebut, Samuel mengatakan langkah paling mungkin dilakukan yaitu masyarakat lebih berhati-hati dalam menyebarkan data pribadi saat menggunakan media sosial maupun bertransaksi online.

 

Selain itu, kebocoran data pribadi ini juga semakin rentan karena belum memiliki Undang Undang. Pembahasan antara pemerintah dengan DPR RI menyusun RUU Perlindungan Data Pribadi tak kunjung rampung. Padahal, RUU tersebut mengatur berbagai aspek mulai tanggung jawab pengendali dan pemroses data hingga sanksi saat data pribadi masyarakat bocor.

 

“Maka itu perlu UU Perlindungan Data Pribadi. Kalau UU ini tidak cepat maka sangat rentan. Data pribadi itu hak pribadi, aset,” tambah Samuel.

 

Tags:

Berita Terkait