Perlu Kompilasi Delik Adat untuk Penerapan Living Law dalam RKUHP
Utama

Perlu Kompilasi Delik Adat untuk Penerapan Living Law dalam RKUHP

Ada empat pendapat soal perlu tidaknya memasukan delik adat dalam RKUHP. Merumuskan delik-delik adat dengan melibatkan para ahli dan peneliti sebelum dituangkan dalam Perda-Perda dan Peraturan Pemerintah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Anggota Tim Perumus RKUHP, Prof Marcus Priyo Gunarto (kanan) dalam webinar bertajuk 'Proyeksi Implementasi RKUHP di Indonesia'. Foto: RFQ
Anggota Tim Perumus RKUHP, Prof Marcus Priyo Gunarto (kanan) dalam webinar bertajuk 'Proyeksi Implementasi RKUHP di Indonesia'. Foto: RFQ

Hukum yang hidup di masyarakat (living law) bagian kehidupan bagi kalangan masyarakat adat di masing-masing daerah. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatur hukum adat memiliki cara tersendiri dalam implementasinya. Seperti aturan pelaksana semestinya sudah ditetapkan paling lama 2 tahun sejak RKUHP diberlakukan menjadi UU.

“Ini terdapat perintah secara tersirat dan tegas agar RKUHP yang disahkan itu berlaku. Misalnya dibuat kompilasi delik adat,” ujar Anggota Tim Perumus RKUHP, Prof Marcus Priyo Gunarto dalam sebuah webinar bertajuk “Proyeksi Implementasi RKUHP di Indonesia” beberapa waktu lalu.

Dia berpendapat dimasukannya delik adat dalam draf RKUHP tentu memiliki implikasi lainnya dalam penerapannya yakni perlu dibuat semacam aturan turunan dalam bentuk kompilasi. Nah, ketika RKUHP diundangkan menjadi KUHP, pemerintah daerah yang memiliki delik adat di wilayahnya harus menyusun peraturan daerah (Perda) untuk mewujudkan kompilasi delik adat.

Nantinya, kata Prof Marcus Priyo, bakal ada Perda yang mengatur delik-delik tertentu di wilayah tertentu yang masih berlaku. Menurutnya, bila tidak dilaksanakan, justru berdampak terhadap pelaksanaan RKUHP terkait delik yang ada bakal mengalami stagnasi. Dia berpendapat delik adat dalam hukum pidana bukanlah “barang baru”.

Dalam praktiknya, delik adat telah diakui secara normatif maupun parsial yang tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi. Seperti dalam Pasal 18B UUD Tahun 1945. Pasal 18B ayat (2) menyebutkan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan  masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”.

“Artinya konstitusi mengakui hak-hak tradisional dan masyarakat hukum adat,” kata dia.

Menurutnya, tak ada salahnya mengintegrasikan hukum adat ke dalam RKUHP. Begitu pula dalam Pasal 4 ayat (3) UU No.1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Menurutnya, UU 1/1951 menunjukan adanya pengakuan terhadap delik adat. Begitu pula dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Dengan begitu, adanya pengakuan hukum yang hidup di masyarakat, termasuk delik adat. Secara parsial, pengakuan terhadap hukum adat maupun delik adat tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan UU No.2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1  Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kemudian, UU Nomor 44 Tahun 1999 Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, maupun yurisprudensi  dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966, yang intinya menganut sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang negatif.

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu lebih lanjut berpendapat, soal perlu tidaknya delik adat dimasukkan dalam RKUHP, setidaknya terdapat tiga pendapat. Menurutnya, pendapat pertama dari sebagian ahli berpandangan delik adat tak perlu dimasukan dalam RKUHP. Sebab, delik adat tidak memiliki unsur-unsur delik, namun hanya terdapat elemen dan inti delik.

”Unsur-unsurnya tidak ada. Berbeda dengan hukum pidana tertulis yang terdapat unsur delik. Namun pendapat ini tidak menolak, delik adat di Indonesia ada dan perlu, tapi tidak perlu dimasukan dalam RKUHP,” kata dia.

Kemudian pendapat kedua, berpandangan bila delik adat faktanya masih terdapat di masyarakat, maka dihidupkan lagi peradilan adat. Sebagaimana diketahui peradilan adat telah dihapuskan dan masuk dalam peradilan umum. Selanjutnya pendapat ketiga, kata Prof Marcus Priyo, delik-delik ada dituangkan dalam Perda. Pasalnya, keberlakukan delik adat hanya dalam wilayah terbatas di mana hukum dan masyarakat adat tertentu hidup.

“Jadi hukum berkembang didukung dari masyarakat tertentu dalam wilayah terbatas, maka dituangkan saja dalam Perda. Jadi perbuatan-perbuatan apa saja yang dianggap masih berlaku dituangkan dalam Perda,” lanjutnya.

Kemudian pendapat keempat, berpendapat dibuatkan kompilasi delik adat. Langkah tersebut seperti halnya yang terjadi dalam kompilasi hukum Islam (KHI). Dengan demikian, terdapat empat pendapat yang menjadi pilihan bagi perancang RKUHP dalam merumuskan norma hukum adat. Namun pilihannya bakal membuat kompilasi delik adat sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi, hak asasi manusia, serta asas-asas hukum umum yang diakui bangsa-bangsa beradab.

“Ini dipilih dan dibahas dengan DPR, usulan dimasukan dalam buku ke-1 mengenai eksistensi living law,” ujarnya.

Hal itu nampak dalam rumusan norma Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan, Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini”.

Melibatkan ahli dan peneliti

Lebih lanjut, Prof Marcus Priyo berpendapat masih terdapat pekerjaan rumah setelah nanti RKUHP disahkan menjadi UU. Termasuk soal hukum acara pidana yang masih perlu diperbaiki melalui rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Kemudian soal penentuan apakah masih terdapat delik-delik adat atau tidak dengan perlu melibatkan kalangan ahli dan peneliti.  Berdasarkan hasil penelitian dan kajian para ahli terdapat batasan deilik adat asalkan tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dalam kerangka NKRI, HAM yang kemudian dituangkan dalam Perda. “Ini harus dikawal, ini proses politik biasa.”

Setelah dituangkan dalam Perda, delik adat bakal dikompilasi melalui peraturan pemerintah dimana Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menjadi leading sektornya. BPHN, kata Prof Marcus Priyo, bakal menghimpun Perda-Perda yang memuat delik-delik adat. Hal ini tak lepas dari rumusan norma Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

“Jadi tidak mungkin satu daerah membuat rumusan delik sendiri yang aneh tanpa ada salinan filternya. Jadi dalam perumusannya betul-betul delik masih hidup melibatkan ahli. Kalau memang dirasa dan perlu dituangkan dalam Perda, maka ada proses di daerah,” katanya.

Tags:

Berita Terkait