Perlu Memperjelas Aturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Utama

Perlu Memperjelas Aturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Fenomena pernikahan beda agama bakal terus muncul. Selain adanya dualisme aturan terkait keabsahan pernikahan, juga terdapat celah hukum yang sering dimanfaatkan pemohon nikah beda agama.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Guru Besar Ilmu Hukum Islam itu merujuk jumhur ulama yang bersepakat perkawinan beda keyakinan tidak dibenarkan. Makanya, hal itu diakomodir melalui Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 yang menegaskan keabsahan suatu perkawinan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Demikian pula, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menegaskan ketidakbolehan perkawinan yang dilarang agamanya.

Ketua Forum Dekan Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia itu melanjutkan aturan itu bisa menjadi celah hukum yang dimanfaatkan pelaku nikah beda agama. Seperti menundukan diri pada agama salah satu pasangan, menikah di luar negeri agar menghindari kerumitan aturan di Indonesia.

Dia berpandangan benturan antara keyakinan keagamaan dengan pemenuhan atas hak-hak dasar manusia, serta kepentingan data kependudukan akan terus terjadi dan saling menafikan. Menurutnya, fakta penikahan beda agama mendapat legitimasi dari catatan sipil atau pengadilan menunjukkan adanya keragaman tafsir dan kecenderungan pihak-pihak terkait dalam menafsirkan norma hukum nikah beda agama. “Inilah muara dari persoalan itu,” katanya.

Sebelumnya, Juru Bicara PN Surabaya Gede Agung menerangkan dalam putusan PN Surabaya mengabulkan permohonan pernikahan beda agama di hadapan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kota Surabaya. Dalam putusan persidangan hakim tunggal Imam Supriyadi pada 26 April 2022 diajukan para pemohon perorangan yang telah menikah beda agama dan berkedudukan di Kota Surabaya, berinisial RA dan EDS.

Menurutnya, RA dan EDS telah melangsungkan pernikahan berdasarkan keyakinan agama masing-masing, secara Islam dan Kristen. Namun saat keduanya hendak mencatatkan pernikahannya di Kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya ditolak dengan alasan perbedaan keyakinan pasangan tersebut. Selanjutnya, pejabat dinas Dukcapil Surabaya dianjurkan agar mengajukan permohonan penetapan pengadilan tempat kedudukan hukum para pemohon.

“Dengan latar belakang itulah keduanya kemudian mengajukan permohonan di PN Surabaya,” ujar Gede Agung sebagaimana dikutip dari Antara.

Kemudian, Hakim Tunggal Imam Supriyadi yang meneliti perkara ini merujuk pada Pasal 21 ayat (3) UU 1/1974 jo Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam putusan yang diterbitkan pada 26 April 2022, Hakim mengabulkan permohonan para pemohon dengan penetapan perkawinan beda agama dengan mengizinkan para pemohon melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait