Perlu Penguatan Penerapan Restorative Justice dalam Sebuah UU
Terbaru

Perlu Penguatan Penerapan Restorative Justice dalam Sebuah UU

Kendati tidak diatur tegas pengaturan keadilan restoratif dalam UU, penuntut umum masih memiliki kendali dalam penghentian penuntutan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Karenanya di Thailand, kata Ukrit, menerapkan prinsip keadilan restoratif dalam pencegahan terjadinya tindak pidana yang berulang. Menurutnya, keadilan restoratif dipraktikkan dalam merajut para pihak berkonflik. Makanya, praktik penerapan restorative justice memiliki akar yang kuat dengan memasukkan unsur keagamaan dan kebudayaan dalam mencapai resolusi.

“Saat ini kami punya banyak bentuk restorative justice formal dan informal. Sehingga dapat diaplikasikan dalam sistem peradilan pidana dengan mengalihkan penghukuman kepada mediasi,” ujarnya.

Di Thailand, terdapat berbagai hukum terkait restorative. Namun ada sisi kelemahannya yang perlu diperjelas perannya. Karenanya, kata Ukrit, restorative justice harus difasilitasi oleh pihak-pihak berwenang. Termasuk diatur dalam UU yang memungkinkan petugas-petugas mengedepankan menawarkan upaya mediasi, khususnya tindak pidana ringan.

Ukrit berpendapat ada sejumlah tantangan dalam penerapan restorative justice. Seperti, tak hanya kedua belah pihak berperkara dipandu agar terjadi kesepakatan damai, namun mesti diurai penyelesaian akar masalah. Dengan begitu memunculkan solusi yang berkelanjutan. Antara lain dengan memasukan nilai-nilai agama dalam keadilan restorative justice. “Mereka percaya hal ini berdampak positif dalam mencapai kesepakatan,” ujarnya.

Tantangan lainnya, adanya keterbatasan kerangka hukum. Seperti kurangnya kesadaran masyarakat terkait dengan keadilan restoratif. Selain itu, perlu membangun keterampilan teknis, serta sarana prasarana termasuk perangkat hukum dalam penerapan keadilan restoratif. “Juga perlu mengenalkan restorative justice,” imbuhnya.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana mengatakan beberapa tahun belakangan Kejaksaan didesak masyarakat agar tidak melanjutkan tindak pidana ringan yang semestinya tidak dilakukan penuntutan. Tak hanya biaya yang besar, tapi jaksa diminta fokus pada pemulihan korban ketimbang menghukum masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.

Alhasil, Jaksa menggunakan diskresinya untuk tidak menuntut selama hak korban dapat dipulihkan. Prinsip Kejaksaan, kata Fadil, tidak melulu menuntut tindak pidana. Sebab, UU di Indonesia tidak mengenal menuntut adalah kewajiban. Sebaliknya, sistem hukum di Indonesia menganut kejahatan haruslah dituntut sepanjang ada kemanfaatan bagi kepentingan hukum dan umum.

Tags:

Berita Terkait