Perludem Jelaskan 4 Bahaya Presidential Threshold 20% Bagi Indonesia
Berita

Perludem Jelaskan 4 Bahaya Presidential Threshold 20% Bagi Indonesia

Argumentasi pemohon menyatakan syarat Presidential Threshold 20% menghambat demokrasi dalam Pilpres 2019.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

(Baca Juga: Ini Alasan Aturan Presidential Treshold Dinilai Tidak Tepat)

 

Bahaya ketiga, Titi mengungkap kemungkinan polarisasi masyarakat secara tidak sehat dalam kontetasi pemilihan calon Presiden. Ia mengkhawatirkan isu sektarianisme kembali muncul mengacu pengalaman Pemilu 2014 dan Pilkada DKI Jakarta. Semuanya berawal dari tidak terbukanya banyak peluang pilihan.

 

“Merasa nggak 2014 kita terpolarisasi dan akhirnya menggunakan isu-isu sektarianisme, pemilih terbelah karena pilihan terbatas 2 paslon?” katanya kepada hukumonline.

 

Menurut Titi, keragaman pilihan sejak awal proses kontestasi calon Presiden akan menghindarkan dari isu-isu sektarianisme di antara para pendukung. “Kalau kita punya beragam pilihan, kita akan lebih berkonsentrasi mengangkat gagasan yang diusung kandidat sebagai strategi pemenangan,” ujarnya.

 

Bahaya keempat, Titi menduga sikap apatis kalangan pemilih milenial. Sebagai pemilih mula dengan krakteristik generasi yang khas, keterbatasan pilihan akan membuat mereka cenderung enggan berpartisipasi dalam memilih calon Presiden. Hal ini dinilai bukan hal yang baik karena justru saat ini Indonesia didominasi kalangan milenial sebagai generasi pelanjut kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Didukung Jimly Asshiddiqie

Hadir sebagai pembicara kunci dalam diskusi ILUNI UI, Ketua pertama Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie membenarkan sejumlah pandangan Titi. Jimly melihat bahwa pemilihan Presiden tahun 2019 yang melibatkan calon petahana akan menyebabkan hambatan menghasilkan keragaman calon Presiden. Sebabnya, ambang batas pencalonan 20% tersebut.

 

Jimly menjelaskan bahwa UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada dasarnya merancang pemilihan Presiden agar berlangsung dua putaran dengan calon lebih dari dua. Tujuannya agar Presiden terpilih memiliki legitimasi kuat dari perolehan suara nasional yang merata.

 

“Presiden terpilih itu bukan hanya Presidennya Pulau Jawa saja, tapi Presiden orang Indonesia seluruhnya,” kata Jimly saat diwawancarai hukumonline usai acara.

 

Dengan syarat ambang batas 20% tersebut, Jimly yakin UU Pemilu sudah menghambat tujuan dalam konstitusi. “Jangan menerbitkan legal policy yang terlalu menghambat kebhinekaan itu, harus diwadahi melalui saluran yang demokratis, sehingga 0% itu masuk akal, lebih baik,” katanya.

 

Tags:

Berita Terkait