Perlunya Pembatasan PK dalam RUU Hukum Acara Perdata
Terbaru

Perlunya Pembatasan PK dalam RUU Hukum Acara Perdata

Agar ada jaminan kepastian hukum sekaligus melaksanakan amanat putusan MK.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Ia menegaskan setiap produk hukum baru dalam bentuk UU haruslah mencerminkan kepastian hukum yang berkeadilan. Tak hanya itu, hakim mutlak memiliki independensi yang tinggi tanpa bisa diintervensi pihak manapun lain dalam mewujudkan keadilan substantif dan prosedural.

Dia melihat pembahasan RUU Hukum Acara Perdata yang sedang dibahas Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR, terdapat daftar inventarisasi masalah (DIM). Halim merinci terdapat 930 DIM bersifat tetap, 172 bersifat redaksional, 137 bersifat substansi, dan 83 bersifat substansi baru. Pembahasan RUU Hukum Acara Perdata amat diperlukan peran partisipasi masyarakat secara bermakna. “Keterlibatan akademisi, tokoh, dan asosiasi seperti Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (Adhaper), dan lainnya sangat diperlukan,” imbuhnya.

Terpisah, Vice Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Indra Sahnun Lubis (ISL), Djamaludin Koedoeboen berpandangan dari aspek praktik di lapangan, pengalaman membuktikan pengajukan PK lebih dari satu kali di perkara perdata nyaris tak ada batasnya yang berujung menimbulkan kerancuan.

Karenanya, pembentuk UU perlu membuat batasan pengajuan PK hanya diperbolehkan satu kali. Tapi ada pengecualian diperbolehkan dua kali sepanjang adanya kejanggalan. Misalnya, ada dugaan kasus suap antara pihak berperkara dengan majelis hakim, maka PK dapat diajukan dua kali. “Kalau tidak, berdalil novum yang kadang akal-akalan juga. Sehingga karena sudah inkracht, kemudian dimentahkan dari PK,” katanya.

Tags:

Berita Terkait