Perselisihan Hak-PHK Lewat Instrumen Kepailitan Berdampak Negatif bagi Perusahaan
Utama

Perselisihan Hak-PHK Lewat Instrumen Kepailitan Berdampak Negatif bagi Perusahaan

Perselisihan hak dan PHK melalui intrumen kepailitan/PKPU harus memenuhi ketentuan dalam SEMA No.2 Tahun 2019. Pekerja yang mengajukan kepailitan/PKPU kepada perusahaan karena ada rasa tidak puas terhadap kebijakan perusahaan, misalnya ketika melakukan PHK.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Instrumen kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sebagaimana diatur dalam UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU sejatinya ditujukan untuk menyelesaikan persoalan utang. Tapi ternyata mekanisme Kepailitan/PKPU itu bisa digunakan sebagai alternatif penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Praktisi Hukum, Advokat dan Dosen FH Universitas Surabaya, Martin Suryana, mengatakan dari 4 jenis perselisihan hubungan industrial ada 2 yang memungkinkan untuk menggunakan mekanisme kepailitan dan PKPU yakni perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Tapi sebelum menggunakan mekanisme tersebut terlebih dulu harus memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam SEMA No.2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 201 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.    

Edaran itu mengatur permohonan pailit terhadap perusahaan yang tidak membayar hak pekerja hanya dapat diajukan jika hak pekerja tersebut telah ditetapkan dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan telah dilakukan proses eksekusi sekurang-kurangnya pada tahap teguran aanmaning yang kedua oleh Ketua Pengadilan Negeri (PN) serta hak pekerja yang belum dibayar tersebut dianggap sebagai suatu utang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari beberapa putusan Kepailitan/PKPU di Pengadilan Niaga Surabaya, Martin mencatat ada perkara yang dimenangkan buruh yang mengajukan kepailitan/PKPU terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Tapi ada juga yang ditolak majelis hakim. Untuk perkara yang dikabulkan hakim, misalnya putusan Pengadilan Niaga Surabaya tertanggal 24 Mei 2021, dalam pertimbangan hukumnya majelis melihat ada Perjanjian Bersama (PB) yang disepakati para pihak, telah didaftarkan dan dilakukan Aanmaning sebanyak 2 kali.

“Pekerja dapat menggunakan instrumen Kepailitan dan/atau PKPU sebagai alternatif untuk penyelesaian sengketa ketenagakerjaan sepanjang memenuhi ketentuan dalam SEMA No.2 Tahun 2019,” kata Martin dalam webinar yang digelar Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI), Sabtu (30/10/2021) kemarin. (Baca Juga: Mendorong Penyelesaian Perkara Kepailitan Syariah Masuk Wewenang Pengadilan Agama)

Menurutnya, arah hukum kepailitan/PKPU di Indonesia arahnya untuk menyelesaikan utang-piutang, bukan solusi insolvensi atau kebangkrutan bagi debitur pailit (perusahaan). Defenisi utang dalam hukum kepailitan di Indonesia tergolong luas bisa dari perjanjian atau peraturan. Mengingat luasnya pengaturan tentang kepailitan, beberapa hak pekerja yang tidak dibayar bisa masuk kategori utang.

Martin berpendapat alternatif penyelesaian perselisihan hubungan kerja melalui instrumen Kepailitan/PKPU ini berdampak negatif bagi pengusaha/perusahaan. Misalnya, dengan tutupnya perusahaan, maka berdampak terhadap perekonomian, dan seluruh pekerja akan mengalami PHK. Persoalannya, pekerja yang menggunakan instrumen Kepailitan/PKPU sebagai alternatif karena menganggap mekanisme penyelesaian sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) lemah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait