Perspektif Pengadilan Korupsi
Kolom

Perspektif Pengadilan Korupsi

Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes), sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi tersebut tidak dapat dielakkan lagi. Kiranya, rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan dibasmi dari tanah air karena korupsi sudah terbukti sangat menyengsarakan rakyat. Bahkan, sudah merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial Indonesia.

Bacaan 2 Menit

Penelusuran minat dan bakat lulusan bakat lulusan fakultas hukum terbaik di beberapa perguruan tinggi yang terbaik di Indonesia tampaknya merupakan keharusan untuk menggantikan metoda lama dalam rekruitmen calon hakim yang telah dilaksanakan selama ini. Metoda baru yang dapat disebut metoda jemput calon hakim (Cakim) perlu disebarluaskan bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi.

Sistem juri

Dalam masalah mekanisme peradilan yang selama ini telah dilaksanakan, terbukti tidak berdampak positif terhadap citra lembaga peradilan di Indonesia, sekalipun sudah dalam bentuk hakim majelis yang dilandaskan kepada asas kolegialitas.

Mulai saat ini, khususnya terhadap perkara korupsi, perlu dipertimbangkan pemberlakuan "sistem juri" pada tahap persidangan. Sementara dalam proses penyidikan, diperlukan berlakunya sistem inquisitoir dengan tetap mengedepankan perlindungan hak-hak tersangka secara penuh.

Dengan sistem juri, maka tidak diperlukan lagi hakim ad hoc, seperti telah diberlakukan dalam proses peradilan terhadap para pelanggar HAM atas Pengadilan Niaga. Atau jika dianggap perlu, persidangan perkara korupsi dilaksanakan oleh majelis hakim yang diketuai oleh hakim non-karier. Penunjukan hakim non-karier untuk memeriksa perkara korupsi bukanlah jaminan keberhasilan, tetapi dapat mengurangi perasaan skeptis dan sinis masyarakat terhadap peradilan tindak pidana korupsi.

Selain masalah calon hakim sebagaimana diuraikan di atas, masalah penting dan strategis lainnya dalam perkara korupsi ialah masalah panitera/jurusita yang dalam praktik memegang peranan penting. Keberadaan panitera dalam sistem peradilan di Indonesia bukan hanya selaku jurutulis pengadilan, melainkan juga diberi peranan selaku jurusita.

Bahkan sesungguhnya, yang menguasai administrasi kantor pengadilan ialah para panitera. Sehingga untuk menjadi panitera pun, harus melalui pendidikan khusus. Pendidikan ini terutama segi manajemen modern kantor pengadilan, termasuk penataan dokumen ke dalam microchip atau database; alur pemberkasan dokumen dari penasehat hukum/pencari keadilan sampai penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak dan proses persidangan.

Menggunakan RANS dan NANS

Kelemahan terbesar dalam kekusutan proses persidangan adalah terletak pada sisi ini. Menurut hemat saya, sudah saatnya mekanisme kerja kantor-kantor pengadilan menggunakan regional area network system (RANS) atau national area network system  (NANS), sehingga sejak dimasukkan perkara ke kantor pengadilan sampai perkara tersebut diputus dapat diketahui secara langsung dan segera oleh Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi atau bahkan oleh Mahkamah Agung.

Halaman Selanjutnya:
Tags: