‘Perubahan Pasal Selingkuh Rawan Timbulkan Kriminalisasi’
Utama

‘Perubahan Pasal Selingkuh Rawan Timbulkan Kriminalisasi’

"Kriminalisasi bisa menyasar kepada orang-orang yang perkawinannya tidak diakui oleh negara," kata Ketua Komnas Perempuan Azriana.

ANT | Sandy Indra Pratama
Bacaan 2 Menit
Adapun pasal 284 KUHP terdiri dari lima ayat dan mengatur tentang perselingkuhan seseorang yang sudah menikah dan besifat delik aduan atau hanya dapat dituntut jika yang dirugikan mengadu.Berdasarkan laman resmi MK, pihak pemohon "judicial review" ingin mengganti bunyi dari ayat (1) dan (2) serta meminta tiga ayat sisanya harus dihapuskan dan tidak berkekuatan hukum.Bunyi dari pasal 284 itu sendiri adalah ayat (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1. (a) seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, (b) seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; 2. (a) seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; (b) seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.Ayat (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.Tim dari Euis Sunarti meminta "Pasal 284 KUHP ayat (1) diubah sehingga menjadi ayat (1) angka 1a menjadi, seorang pria yang melakukan zinah, ayat (1) angka 1b menjadi, seorang wanita yang melakukan zinah, ayat (1) angka 2a menjadi, Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, ayat (1) angka 2b menjadi, Seorang wanita dengan turut serta melakukan perbuatan itu". Pemohon mau menghilangkan kata "telah kawin" dalam pasal tersebut.Selain itu, pemohon juga mau pasal tersebut berubah dari delik aduan menjadi delik biasa (tuntutan tidak perlu pengaduan). (Baca juga: Pasal Zina dalam KUHP Langgar Sumber dari Segala Sumber Hukum)"Overspel dalam bahasa Belanda sendiri berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan, atau adanya persetubuhan dengan orang lain yang tidak disetujui oleh suami atau istri. Jadi itu tidak sama dengan 'zina' yang dimaksudkan agama dan dipahami oleh sebagian masyarakat Indonesia seperti yang diinginkan pemohon. Kalau pemidanaannya diperluas kepada mereka yang tidak terikat perkawinan, artinya akan bertentangan dengan tujuan pasal tersebut dibuat," ujar Azriana.Mengancam Anak Selain berisiko mengkriminalisasi kelompok rentan, perubahan pasal 284 KUHP juga diangggap berpotensi mengancam perlindungan normatif terhadap anak ataupun remaja yang terlibat dalam aktivitas seksual."Peningkatan anak dengan aktivitas seksual adalah gejala sistemik pendidikan nasional baik formal maupun informal dan harus menjadi tanggung jawab orang dewasa, khususnya pendidik dan pemuka agama. Apalagi stigma atas moralitas seksual itu sangat sulit dihapuskan," tutur Azriana.Dia menambahkan, anak-anak dari keluarga yang suami atau istrinya berselingkuh pun bisa menjadi korban. Pasalnya, tidak jarang suami atau istri mendiamkan tindakan selingkuh pasangannya demi keutuhan keluarga, bahkan menyembunyikannya dari buah hati mereka.Karena itu, jika nantinya status delik aduan dalam pasal 284 KUHP berubah menjadi delik biasa, artinya setiap keluarga seperti disebutkan di atas berpotensi "retak"."Artinya, perubahan itu akan mencabut hak warga negara menikmati perlindungan bagi institusi perkawinan dan keluarganya," ujar Azriana. (Baca juga: Dua Ahli Kritik Pasal Zina dalam KUHP)Korban perkosaan pun bisa dirugikan dengan adanya perubahan pasal 284 KUHP. Menurut Komnas Perempuan, banyak kasus pemerkosaan yang dianggap terjadi karena "suka sama suka" oleh pelaku. Jika ini terjadi, perubahan pasal itu dapat memidanakan korban.Terkait hal ini, Komnas Perempuan menegaskan bahwa "zina" berbeda dengan kekerasan seksual. Hamilnya perempuan akibat hubungan seks di luar pernikahan disebut korban kekerasan eksploitasi seksual jika pelaku tidak bertanggung jawab untuk menikahi korban, sama halnya dengan prostitusi."Untuk melindungi perempuan dari kekerasan sekual perlu regulasi menyeluruh dan komprehensif yang dapat menjawab kompleksnya persoalan kekerasan seksual. Karena itu Komnas Perempuan mendorong disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016," kata Azriana.Adapun tim dari Guru Besar IPB Euis Sunarti mengajukan "judicial review" untuk mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 284, 285, dan 292 terkait zina di Mahkamah Konstitusi. Sampai Selasa (30/8), sidang sudah dilaksanakan sebanyak tujuh kali dan selanjutnya masih akan mendengarkan pendapat dari beberapa lembaga terkait.
Tags:

Berita Terkait