Perusahaan Paksa Pekerja Untuk Resign, Bagaimana Hukumnya?
Terbaru

Perusahaan Paksa Pekerja Untuk Resign, Bagaimana Hukumnya?

Pada dasarnya pengakhiran hubungan kerja dengan alasan pekerja mengundurkan diri hanya bisa dilakukan atas kemauan pekerja yang bersangkutan atau sifatnya sukarela.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi menandatangani surat resign
Ilustrasi menandatangani surat resign

Hubungan kerja tak selamanya harmonis karena dalam perjalannya bisa jadi ada hal yang bisa membuatnya menjadi renggang atau malah saling berselisih. Puncak dari perselisihan itu bisa mengarah pada berakhirnya hubungan kerja sebab masing-masing pihak sudah tak ada rasa saling percaya. Berakhirnya hubungan kerja melahirkan konsekuensi baik bagi pemberi kerja dan pekerja/buruh.

Pemberi kerja yang mengakhiri hubungan kerja dengan pekerjanya wajib menunaikan kewajiban untuk memberikan kompensasi yang besarannya sesuai dengan alasan pemutusan hubungan kerja (PHK). Misalnya, pemberi kerja melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama sampai ketiga secara berturut-turut.

Kompensasi yang dibayar pemberi kerja kepada pekerja/buruh meliputi uang pesangon sebesar 0,5 persen, penghargaan masa kerja 1 kali, dan uang penggantian hak. Dampak PHK bagi pekerja/buruh jelas dia tidak bisa bekerja lagi di perusahaan tempatnya selama ini bekerja. Sehingga pendapatan yang biasanya rutin diperoleh setiap bulan dalam bentuk upah tak lagi diterima karena hubungan kerjanya sudah putus. Belum lagi jika pekerja/buruh menolak PHK tersebut dan menyelesaikannya melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, kedua pihak harus meluangkan waktu dan biaya untuk menjalani proses tersebut.

Tapi dalam praktiknya, ada pemberi kerja yang memutus hubungan kerja tidak melalui prosedur PHK sebagaimana diatur dalam berbagai aturan ketenagakerjaan. Seperti UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU dan berbagai peraturan teknis. Antara lain PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PKWT-PHK). Misalnya, pemberi kerja memaksa pekerja untuk mengundurkan diri atau resign.

Baca juga:

Jika pekerja/buruh mengikuti permintaan pemberi kerja untuk resign, besaran kompensasi yang diterima tidak mengacu ketentuan pesangon. Tapi masuk kategori pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri, besaran kompensasi yang diterima juga tidak sebesar pesangon. Pasal 50 PP 35/2021  menyebutkan, “Pekerja/Buruh yang  mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf i, berhak atas:a. uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4); dan b. uang pisah yang besarannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama”.

Oleh karena itu bagaimana hukumnya pemberi kerja yang memaksa pekerja/buruh untuk mengundurkan diri atau resign?. Dalam Klinik Hukumonline pada artikel Hukumnya Dipaksa Resign Dari Perusahaan Renata Christha Auli menjelaskan, sekalipun pekerja melakukan pelanggaran seperti menggelapkan uang perusahaan, bukan berarti membenarkan tindakan dipaksa resign.

Pada dasarnya pengakhiran hubungan kerja dengan alasan pekerja mengundurkan diri hanya bisa dilakukan atas kemauan pekerja yang bersangkutan atau sifatnya sukarela. Tapi jika pekerja akhirnya menyampaikan surat pengunduran diri, maka surat itu dianggap sah sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya.

Paling penting, pekerja/buruh harus dapat membuktikan adanya “paksaan” dalam pembuatan dan penandatanganan surat pengunduran diri tersebut. Bila terbukti secara hukum pekerja dipaksa resign, surat pengunduran diri itu bisa diminta pembatalan dan hak pekerja dapat menggugat tindakan PHK sepihak itu ke pengadilan hubungan industrial.

Sebelum sampai ke pengadilan hubungan industrial, terlebih dulu perlu diupayakan penyelesaian secara bipartit antara pemberi kerja dan pekerja. Jika perundingan itu tak berhasil, perselisihan berlanjut ke dinas ketenagakerjaan setempat untuk diselesaikan antara lain melalui proses mediasi oleh petugas mediator. Petugas mediator akan menerbitkan rekomendasi untuk kedua pihak dalam menyelesaikan perkara. Jika rekomendasi itu juga tidak mampu menyelesaikan persoalan, perselisihan berlanjut ke pengadilan hubungan industrial.

Tags:

Berita Terkait