PGI Tolak Batas Usia Pernikahan Bagi Perempuan
Berita

PGI Tolak Batas Usia Pernikahan Bagi Perempuan

Dispensasi perkawinan dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan tetap perlu dengan mengajukan ke pengadilan dan tidak lagi melalui pejabat setempat.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) secara tegas menolak batas usia pernikahan 16 tahun bagi perempuan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain dari aspek kesehatan mengancam kematian ibu, praktik saat ini gereja-gereja Indonesia tak lagi memberi pemberkahan nikah bagi anak-anak atau belum mencapai usia 18 tahun.

“Ditinjau dari aspek apapun, perkawinan anak-anak (perempuan) yang berusia 16 tahun atau di bawah itu perkawinan yang tidak dapat diterima,” ujar Ketua PGI, Pdt Albertus saat memberi keterangan sebagai pihak terkait dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (18/12).

Sebelumnya NU dan Muhammadiyah ingin agar batas usia nikah dalam UU Perkawinan tetap dipertahankan.

PGI menganggap perkawinan anak sangat tidak menghargai sakralitas tubuh manusia. Sebab, berdasarkan penelitian International Center for Research on Women, mereka yang menikah di bawah 18 tahun terutama perempuan berpotensi meninggal atau kehilangan bayi dua kali lipat dibanding mereka yang menikah pada usia 18 tahun ke atas.

“Ini terjadi karena mereka secara fisik termasuk alat reproduksinya belum siap. Pernikahan anak juga mendorong tingginya tingkat kekerasan,” ujar Albertus dalam persidangan yang dipimpin Hamdan Zoelva.

Dengan begitu, membolehkan pernikahan dini di bawah usia 16 tahun khususnya bagi perempuan sama dengan menutip mata terhadap penderitaan yang dialami jutaan anak-anak Indonesia. Melihat adanya resiko kematian, kekerasan, dan eksploitasi, Kristen tidak mau terjebak dalam religious insensitivity (ketidakpekaan agama) yang sering menyakralkan pernikahan dengan mengabaikan sakralitas tubuh anak-anak perempuan yang menderita.

“Mengizinkan pernikahan di bawah usia 16 tahun sama dengan membuka peluang orang tua ‘menjual’ demi memperoleh keuntungan ekonomi melalui mahar dan mencegah pertumbuhan intelektualitas. Kita harap agar pemerintah juga tidak terjebak dalam religious dan political insentivity,” kata dia.

Dijelaskan pula bahwa praktiknya pernikahan yang dilakukan gereja-gereja Indonesia saat ini umumnya tidak lagi melakukan pemberkahan nikah bagi anak-anak atau belum mencapai usia 18 tahun. Kini, praktik pemberkahan nikah di gereja dilakukan pasangan calon suami-istri yang telah berusia di atas 18 tahun, kecuali pada kasus-kasus tertentu.

“PGI tidak keberatan terhadap pernikahan laki-laki ada usia 19 tahun, tetapi PGI mendukung permintaan para pemohon pengujian UU Perkawinan ini untuk menaikkan batas usia pernikahan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun,” paparnya.

Mendukung
Pihak terkait lainnya dari Yayasan Aliansi Remaja Independen (YARI) berpandangan senada. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan YARI perkawinan anak melanggar hak dasar anak yang berdampak penderitaan fisik dan merampas hak pendidikan anak serta melanggengkan rantai kemiskinan.

“Kita mendukung peningkatan usia perkawinan bagi perempuan. Sebab, kami yakin dengan menaikkan usia perkawinan anak perempuan memiliki kesempatan yang luas untuk menjadi pribadi yang lebih terdidik dan sehat,” ujar pengurus YARI, Bestha Inatsan Ashila dalam persidangan.

Meski begitu, pihaknya menyadari kompleksitas sebab-akibat perkawinan anak terutama saat mengalami kehamilan tidak bisa dihindari. Karena itu, YARI memandang agar dispensasi perkawinan dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan tetap perlu diberlakukan bagi anak yang mengalami kehamilan dengan prosedur hukum yang tepat. Misalnya, dengan memberi kesempatan anak yang hamil mengajukan dispensasi ke pengadilan dan tidak lagi melalui pejabat setempat.

“Tata laksana pengajuan dispensasi ini perlu dicermati dengan hati-hati dengan memperhatikan prinsip penyelesaian terbaik bagi hak-hak anak,” harapnya.

Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Zumrotin dan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak mempersoalkan batas usia perkawinan bagi wanita, yakni 16 tahun melalui pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan. Mereka berpandangan norma Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi karena menjadi landasan dan dasar hukum pembenaran perkawinan anak yang belum mencapai 18 tahun.

Usia kedewasaan adalah jika seseorang sudah mencapai usia 18 tahun sesuai Pasal 26 UU Perlindungan Anak dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca ‘18 tahun (delapan belas) tahun’. Dalam petitumnya, pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Tags:

Berita Terkait