Polemik Jerat Pidana bagi Penolak Vaksinasi Covid-19
Utama

Polemik Jerat Pidana bagi Penolak Vaksinasi Covid-19

Tafsir memperluas Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dianggap berlebihan dan tidak memenuhi asas legalitas.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Oemar Sharif Hiariej menganggap ada sanksi bagi warga yang menolak vaksinasi Covid-19. Sebab, vaksinasi Covid-19 merupakan kewajiban di tengah situasi wabah penyakit menular, seperti pandemi Covid-19. Sanksi yang dimaksud merujuk pada Pasal 9 jo Pasal 93 UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”. Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Dia menilai Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan merupakan pasal “sapujagat” yang bersifat karet dan pasal keranjang sampah. Menurutnya, Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan dapat dikatakan sebagai pidana administratif. Bagi siapapun yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sesuai Pasal 9 ayat (1) dapat dijerat dengan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.

Menurutnya, Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan berkaitan dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Karena itu, terdapat kewajiban bagi setiap warga negara untuk mematuhi berbagai peraturan perundang-undangan terkait kekarantinaan kesehatan. “Ketika kita menyatakan vaksin itu kewajiban, secara mutatis mutandis jika ada warga yang tidak mau divaksin bisa dikenakan sanksi pidana, bisa didenda atau penjara, atau bisa dua-duanya. Jadi bahasa (penafsirannya, red) amat sangat luas, itu kita istilahkan pasal karet,” ujarnya dalam sebuah webinar, Sabtu (9/1/2021) kemarin.

Meski rumusan norma tersebut sedemikian mudah menjerat pelanggaran kekarantinaan kesehatan, namun hukum pidana itu bersifat ultimum remedium (upaya terakhir). Artinya hukum pidana digunakan sebagai sarana penegakan hukum yang terakhir (setelah upaya lain sudah dilakukan). “Jelas ada sanksi. Tapi sedapat mungkin pidana itu jalan (upaya, red) terakhir,” katanya.

Tafsir berlebihan

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai tafsir Wamenkumham sangat berlebihan. Dia beralasan penerapan sanksi pidana dalam UU 6/2018 bila memenuhi dalam kondisi. Pertama, bila pilihan keputusan pemerintah menyatakan karantina wilayah, bukan PSBB. Kedua, tindakan yang dapat dikriminalisasi atau dipidana antara lain keluar masuknya wilayah karantina tanpa izin. Ketiga, subjeknya adalah para supir, nahkoda, dan pilot.

“Begitu pula bagi orang per orang yang tidak mematuhi atau menghalang-halangi penyelenggaraan karantina dan menyebabkan kedaruratan dengan adanya unsur perlawanan terhadap kebijakan karantina,” kata Abdul Fickar Hadjar saat dihubungi Hukumonline, Kamis (14/1/2021).   

Tags:

Berita Terkait