Polemik Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual
Kolom

Polemik Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual

​​​​​​​Terobosan dalam penegakan hukum perlindungan anak ini perlu didasarkan pada pengujian dan penilaian yang menyeluruh baik dari segi medis, psikologis, dan hukum sebagai upaya mitigasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh tindakan kebiri kimia.

Bacaan 8 Menit

Selanjutnya, tindakan kebiri kimia tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku anak yaitu mereka yang pada saat melakukan tindak pidana belum berusia 18 tahun. Bagi pelaku yang usianya antara 18-21 tahun pada saat melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana penjara selama 10 tahun, lalu menjalani tindakan kebiri kimia setelah pidana pokoknya selesai, yang mana usianya masih berada di bawah 35 tahun dan fungsi hormonalnya masih sangat baik, bagaimana dampak tindakan kebiri kimia terhadap pelaku usia muda tersebut? Bagaimana dengan pelaku perempuan dewasa atau transeksual usia dewasa? Apabila berbicara tentang kasus kekerasan seksual, yang ada di benak masyarakat biasanya adalah bahwa pelaku adalah pria dewasa, namun tidak tertutup kemungkinan tindak pidana itu dilakukan oleh pelaku dengan jenis kelamin/orientasi seksual lain.

Petugas yang melakukan pelaksanaan tindakan kebiri kimia merupakan petugas khusus yang memiliki kompetensi di bidangnya dan dilakukan atas perintah jaksa, sebagai bagian dari melaksanakan putusan pengadilan. Diskusi yang mengemuka perihal kode etik dari pelaksanaan kebiri kimia dapat diselesaikan melalui teori bioetika kedokteran, yang menjadi jembatan saat terjadi argumentasi antara ilmu kedokteran, etika, moral, displin ilmu lain seperti ilmu hukum yang muncul sebagai dari perkembangan dan kemajuan dalam ilmu kedokteran, ilmu pengetahuan, dan bioteknologi. Sehingga terbuka kemungkinan bahwa dokter dapat melakukan tindakan kastrasi/kebiri kimia sebagai bagian dari pelaksanaan putusan pengadilan yang patut dihormati serta menjawab diskursus dalam hal etika, kedokteran dan hukum.

Penutup

Tindakan kebiri kimia merupakan respon negara yang dinantikan oleh masyarakat pencari keadilan yang terdampak oleh kasus kekerasan seksual terhadap anak. Namun demikian, terobosan dalam penegakan hukum perlindungan anak ini perlu didasarkan pada pengujian dan penilaian yang menyeluruh baik dari segi medis, psikologis, dan hukum sebagai upaya mitigasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh tindakan kebiri kimia. Dampak yang mungkin dirasakan oleh pelaku sebagai akibat dari tindakan kebiri kimia adalah depresi, yang mana pelaku dapat merasa kuatir akan akibat negatif yang timbul dari tindakan kebiri kimia yang dikenakan padanya.

Selanjutnya, stigma dari masyarakat dapat dialami manakala identitasnya diumumkan dan dilakukannya pemasangan alat deteksi elektronik dapat memicu pelaku mengulangi perbuatannya atau melukai dirinya sendiri meski ini bertujuan untuk memperbaiki keadaan si pelaku dan dapat pula bertujuan untuk membebaskan pelaku dari rasa bersalah. Merespon hal ini maka semangat retributif yang hendak menghukum pelaku secara berlebihan dari seluruh elemen masyarakat perlu dijaga oleh hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Dalam hal ini, tindakan kebiri kimia hanya dapat diterapkan kepada pelaku kekerasan seksual dengan kualifikasi tertentu dan pelaksanaannya dilakukan oleh petugas dengan kompetensi tertentu. Penentuan itu harus berdasarkan pada hasil pemeriksaan kondisi kesehatan fisik dan psikis pelaku. Data tersebut diperoleh melalui uji klinis yang tepat dan lengkap sebelum proses penuntutan terhadap pelaku dimulai.

Setelah tindakan kebiri kimia dilakukan, pengawasan dan bantuan medis yang berkelanjutan terhadap kondisi kesehatan fisik dan psikis pelaku kekerasan seksual perlu dilakukan untuk memastikan apakah tujuan tindakan yang dijatuhkan kepada pelaku dapat tercapai. Tujuan tindakan kebiri kimia tersebut tersebut adalah perpaduan antara penjeraan, pencegahan dan rehabilitasi bagi pelaku dewasa dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan gangguan pedofilia. Termasuk tercapainya tujuan pengaturan tindakan kebiri kimia yakni untuk mengatasi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Kiranya para pemangku kepentingan dapat menjawab polemik yang ada.

*)Nathalina Naibaho adalah Dosen Tetap pada Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum UI dan Tunggal S adalah alumi pada peminatan hukum pidana Fakultas Hukum UI.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait