Polri Berbenah Sambut Berlakunya UU KIP
Fokus

Polri Berbenah Sambut Berlakunya UU KIP

Dalam empat bulan ini, Polri sedang berupaya melakukan uji konsekuensi terhadap informasi mana yang perlu dikecualikan dalam keterbukaan informasi publik. Selain melakukan uji konsekuensi, Polri juga melakukan penataan struktur, instrumen, dan sumber daya manusia.

Nov
Bacaan 2 Menit
Semboyan di salah satu unit Kepolisian di Jakarta. Foto: Sgp
Semboyan di salah satu unit Kepolisian di Jakarta. Foto: Sgp

Dalam evaluasi tahunan Polri, Kapolri Bambang Hendarso Danuri (BHD) telah mengungkapkan bahwa sebagai badan publik, Polri akan mengeluarkan Peraturan Kapolri (Perkap), sebagai penjabaran UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Yang mana, sebagaimana diketahui akan diberlakukan mulai 1 Mei 2010.

 

Sepanjang 2009, Polri telah mengeluarkan Perkap-perkap sebagai implementasi sejumlah undang-undang. Empat Perkap di antaranya adalah Perkap No 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tugas Kepolisian, Perkap No 2 Tahun 2009 tentang Tata Cara Verifikasi di Lingkungan Polri, Perkap No 3 Tahun 2009 tentang Pembentukan RPK, Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, serta Perkap No 8 Tahun 2009 tentang Pedoman Dasar Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

 

Namun, Perkap-perkap itu dianggap sejumlah kalangan sebagai regulasi yang indah di atas kertas. Pasalnya, dalam implementasinya, Polri masih mencetak rapor merah. Tengok saja, meski Polri sudah mengeluarkan Perkap No 8 Tahun 2009, tetap saja terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oknum-oknum Kepolisian. Salah satu kasus yang sempat menjadi buah bibir di masyarakat adalah pengeroyokan sejarawan Universitas Indonesia (UI), JJ Rizal oleh lima anggota Polsek Beji, Depok (5/12). Belum lama ini juga terjadi penganiayaan oleh tiga orang anggota Polda Maluku terhadap seorang bernama Susandhi Sukatma alias Aan di Artha Graha. Dengan adanya kasus-kasus ini, BHD tidak menutup mata dan mengaku bahwa pembenahan kultur itu merupakan hal yang paling sulit dilakukan.

 

Oleh sebab itu, BHD menyatakan akan menindak tegas aparatnya apabila memang terbukti melakukan pelanggaran. Baik itu pelanggaran kode etik, disiplin, maupun pidana. Sampai akhir 2009 lalu, Polri mencatat 1792 personel terkait pelanggaran disiplin, 444 terkait pelanggaran etika profesi, dan 1180 personel terkait pelanggaran pidana. Dari jumlah 1180 itu, kategori pelanggaran pidana yang paling banyak dilakukan adalah penganiayaan, yakni sebanyak 210 personel. Sisanya, pelanggaran pidana, seperti narkoba, pencurian, penembakan, perbuatan tidak menyenangkan, zina, dan penyalahgunaan senjata api. Dan dari keseluruhan jumlah personel yang melakukan pelanggaran pidana, 365 orang dikenakan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).  

 

Hal ini memberikan gambaran bahwa implementasi Perkap memang tak sebagus regulasinya. Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adnan Pandupraja bahkan pernah mengatakan bahwa Polri memang patut diacungi jempol dalam sejumlah regulasi yang mereka keluarkan. Tapi, untuk implementasinya, masih sangat jauh dari apa yang terpatri di Perkap. Senada dengan Adnan, Penasehat Kapolri Indria Samego dan Chief of Cluster for Security and Justice Partnership (Kemitraan), Laode M Syarif juga menyatakan peraturan yang telah disusun Kapolri, hanya bagus dalam tataran regulasinya saja. Untuk implementasinya, masih jauh dari harapan.

 

Tentunya, untuk Perkap kali ini, Polri tidak ingin hal itu terulang. “Kita paham betul dengan adanya UU Keterbukaan Informasi Publik, No 14/2008. Untuk menyikapi itu Polri telah berbenah, (salah satunya) dengan mengeluarkan Perkap yang nantinya akan berlaku mulai dari Polsek hingga Mabes Polri,” kata BHD. Namun, hingga kini, Perkap yang diberi nama Tata Cara Penyampaian Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Polri tersebut belum ditandatangani BHD. Sehingga belum pula dapat diimplementasikan. “Insya Allah nanti dalam 2010 sudah ditandatangani, diajukan ke Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), dan (akan) bisa dioperasionalkan,” ujarnya.

 

Mengimplementasikan Perkap memang tak semudah membalikan telapak tangan, karena di dalamnya terdapat kewajiban Polri untuk memberikan informasi pelayanan secara terbuka kepada publik. Oleh karena menyadari hal itu, Kadiv Pembinaan dan Hukum (Binkum) Mabes Polri Budi Gunawan mengatakan akan memaksimalkan sosialisasi sampai jajaran terbawah, yakni Polsek. Namun, upaya sosialisasi itu baru akan dilakukan setelah Perkap disahkan dan UU KIP diberlakukan. “Setelah ditandatangani (BHD), struktur baru disahkan, baru akan disosialisasi. Sosialisasi (awal) ke Polda-polda, Kabid-kabid Hubungan Masyarakat (Humas) dipanggil”. Selain sosialisasi, Budi menambahkan, materi-materi dalam Perkap juga akan dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan Polri. “Setelah disahkan pemerintah baru disosialisasi, dan (masuk dalam kurikulum), itu harus”.

 

Harus diawasi

Sejalan dengan akan disahkannya Perkap itu, Kadiv Humas Mabes Polri Edward Aritonang mengaku Polri juga kini sedang melakukan penataan-penataan. Mulai dari penataan regulasi, organisasi, instrumen, sistem, sampai penataan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk penataan regulasi, Perkap ini akan dikeluarkan sebagai pedoman bagi Polri untuk memberikan informasi kepada publik. Sejalan dengan lahirnya Perkap ini, lahir pula postur pejabat-pejabat baru sebagai pihak yang bertanggung jawab atas informasi itu. “Kemudian kita lakukan penataan organisasi. Dari penataan ini akan muncul pejabat Humas di tingkat Polres yang selama ini tidak ada,” tuturnya. Tidak sampai di situ, di tingkat Polsek juga akan ada pejabat yang bertanggung jawab untuk memberikan informasi kepada publik. Pejabat itu disebut Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Dan jabatan ini dirangkap oleh Kapolsek. “Ada sampai Polsek, dengan catatan, Kapolsek adalah ex officio PPID, pejabat yang penanggung jawab atas informasi di tingkat Polsek”.

 

Penataan selanjutnya adalah penataan instrumen dan sistem. Edward membeberkan, Polri akan membuat Standard Operating Procedure (SOP) untuk pemberian informasi kepada publik. Tentunya, SOP ini akan berbeda di tingkat Polsek, Polres, Polda, dan Mabes Polri. Selain mengatur standar pemberian informasi kepada publik, SOP ini juga akan mengatur mengenai mekanisme penyampaian informasi dari tingkat Polsek, Polres, Polda sampai Mabes Polri. Mengingat kebutuhan penyaluran informasi itu, jenderal bintang dua ini merasa perlu adanya penataan instrumen atau perangkat yang menunjang. “Seperti peralatan-peralatan. Kita perlu ada peralatan yang bisa satu informasi secepat mungkin sampai di Mabes. Sehingga, katakanlah kawan-kawan seperti wartawan di Medan ingin tahu kasus di Papua, kan nanyanya ke Mabes. Itu dari papua ke Mabes, bagaimana supaya cepat (informasinya)”.

 

Setelah itu, kata Edward, baru dilakukan penataan SDM. “SDM yang kita tata ini kita tentukan orangnya. Kemudian akan kita latih secara bertahap. Salah satu materinya yang ada di Perkap itu. Nanti, kita latih juga bagaimana berkomunikasi, bagaimana berbicara efektif, bagaimana eye to eye contact lah misalnya”. Kemudian, akan dilatih pula bagaimana dia merumuskan instansi, informasi apa saja yang mesti dia dikecualikan, yang dikecualikan itu apa batasannya? Apa rumusannya? Dan itu harus dia umumkan kepada publik.

 

Kewajiban Polri untuk menyampaikan informasi secara terbuka kepada publik, menurut anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi harus diawasi. Pengawasan itu tentunya harus selalu dilakukan oleh masyarakat dan wartawan. Karena, dengan adanya pengawasan itu, Polri diharapkan akan seantiasa memperbaiki kesalahan dan kekeliruan yang telah mereka perbuat. Tidak hanya pengawasan terhadap fungsi penyampaian informasi, tetapi juga pada susbtansi dari infromasi itu sendiri. “Dengan adanya instruksi yang lebih tajam dan jelas (dari Kapolri) kepada masing-masing tingkatan kepolisian, seperti Polres dan Polsek, itu nanti akan bisa memberikan informasi yang relevan dan lebih akurat, akurat dalam data dan peristiwa”. Dan informasi yang akurat itu, tentunya akan dibawa terus sampai ke tingkat atas, yaitu Mabes Polri. “Semua informasi yang dari bawah terus ke atas itu diharapkan akan sama. Faktualnya, faktanya, datanya, orang yang terlibat, alur ceritanya semuanya sama, supaya tidak simpang siur lagi”.

 

Akurasi ini dirasa sangat penting, karena masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat. Oleh sebab itu, Polres dan Polsek sebelum memberikan keterangan atau melaporkan informasi ke atas, lanjut Alamudi, harusnya memiliki data yang akurat terlebih dahulu. “Jangan keblinger seperti peristiwa Adam Air yang jatuh. Dibilang sudah ditemukan, segala macam. Tapi, Jenderal TNI akhirnya keesokan harinya membantah telah ditemukan”.

 

Dengan ini, ke depan, Alamudi berharap kesalahan distribusi informasi itu tidak terjadi lagi. Dan untuk memastikannya, sosialisasi Perkap harus dilakukan secara maksimal, sampai ke tingkat terbawah. “Selain sosialisasi, pelatihannya juga harus ada. Karena tidak gampang, kau bicara misalnya mengenai ini. Dia tidak tahu dari mana mulainya, bagaimana menghadapi wartawan, dan sebagainya”. Untuk itu, perlu ditunjuk pejabat yang siap didaulat sebagai juru bicara untuk lembaganya masing-masing. Memang, perlu waktu untuk mengimplementasikan Perkap ini secara baik, tapi sebagai badan publik, Kepolisian harus bisa melayani masyarakat, menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban yang relevan dan akurat, termasuk menjawab pertanyaan mengenai perkembangan atau sesuatu yang ada di wilayahya. “Tidak bisa lagi jawaban no comment dan kira-kira. Dengan program yang sudah mereka siapkan ini, Polisi bisa secara langsung memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Mudah-mudahan ini akan berjalan lancar,” tukasnya.

 

Meski demikian, Alamudi mengaku angkat topi atas upaya Polri mengimplementasikan UU KIP. Karena, apabila dibandingkan dengan badan publik lainnya, “Polri ini salah satu lembaga yang paling terdepan, menyiapkan diri, menyesuaikan diri dengan adanya UU KIP. Nah, kalau Polisi ini bisa berjalan lancar, kita harapkan departemen lain juga bisa berjalan”.

 

Dapat digugat

Walau Perkap belum ditandatangani dan disahkan, Polri tidak hanya berdiam diri. Edward Aritonang mengatakan, dalam empat bulan ini pihaknya sedang melakukan pengujian terhadap konsekuensi dari sebuah informasi apabila didistribusikan kepada publik. Karena, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU KIP, PPID dikatakan wajib melakukan pengujian konsekuensi terhadap informasi-informasi mana saja yang perlu mendapat pengecualian. Seperti diketahui, Pasal 17 UU KIP memisahkan informasi mana saja yang dapat dikecualikan, seperti pengungkapan data informan, pelapor, strategi intelijen, operasi intelijen dan sebagainya. Informasi tersebut bisa saja dibuka untuk kepentingan pemeriksaan perkara di pengadilan, tapi tentunya harus mengajukan izin terlebih dahulu kepada Presiden.

 

Dengan upaya uji konsekuensi tersebut, PPID nantinya dapat membeberkan dan membuktikan, mengapa informasi itu mesti dikecualikan. Misalnya, Edward mencontohkan, “kalau anda bilang Pak minta surat perintahnya, terus saya bilang nggak boleh, karena kalau saya kasih orang yang mau ditangkap ini lari, menggangu penyelidikan”. Si pemohon informasi bisa saja keberatan, dan menuntut supaya informasi itu dibeberkan. Maka dari itu, perlu ada uji konsekuensi, “Benar tidak, bila dibeberkan satu kasus, dia betul lari. Apabila ternyata tidak menimbulkan suatu konsekuensi, Nah anda bisa menuntut saya”.

 

Mekanisme keberatan ini secara lebih detail dirumuskan dalam UU KIP. Pasal 35 menyatakan setiap pemohon informasi dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan PPID berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :

 

UU KIP

Pasal 35

(1)  Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola informasi dan Dokumentasi berdasarkan alasan berikut:

a.     penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;

b.    tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;

c.     tidak ditanggapinya permintaan informasi;

d.    permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta;

e.    tidak dipenuhinya permintaan informasi;

f.      pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/atau

g.    penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam undang-undang ini.

(2)  Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g dapat diselesaikan secara musyawarah oleh kedua belah pihak

 

Manakala tanggapan atasan PPID ini tetap belum memuaskan, si pemohon informasi, menurut Pasal 37 ayat (1) UU KIP dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa ke Komisi Informasi. Sebagaimana mekanisme sidang perdata pada umumnya, dapat diupayakan perdamaian terlebih dahulu. Namun, apabila perdamaian tidak tercapai atau salah satu pihak menarik diri dari perundingan, proses adjudikasi non litigasi melalui Komisi Informasi dapat ditempuh. Dan dalam proses pemeriksaan itu, pihak termohon (informasi) dapat didengar keterangannnya dan harus membuktikan hal-hal yang mendukung pendapatnya, apabila menyatakan tidak dapat memberikan infromasi dengan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 17 dan Pasal 35 ayat (1).

 

Selain menggunakan Komisi Informasi untuk menyelesaikan sengketa, pemohon informasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU KIP, juga dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Negeri. Namun, gugatan ini dapat diajukan dengan catatan, jika yang digugat itu adalah Badan Publik Negara.

 

Tags: