Potensi Ujaran Kebencian Pilkada DKI Jakarta, Polisi Diminta Awasi Medsos
Berita

Potensi Ujaran Kebencian Pilkada DKI Jakarta, Polisi Diminta Awasi Medsos

Polri telah menerbitkan SE Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian sebagai petunjuk jajaran kepolisian di lapangan. Tidak melulu melakukan penangkapan, tapi memediasi para pihak.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Berkaca pada Pemilihan Presiden 2014 lalu, banyak masyarakat pendukung pasangan calon presiden kala itu saling serang. Ujaran kebencian(hate speech) tak terelakan menyebar di media sosial. Mencegah terjadinya ujaran kebencian di media sosial dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 mendatang, Polri melalui jajarannya mesti megawasi agar tidak terjadi ujaran kebencian.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan fenomena media sosial merupakan hasil dari perkembagan informasi dan teknologi. Namun ketika menyebarkan informasi yang menyerang orang, maka dapat dikategorikan masuk dalam ranah hukum. Penggunaan teknologi mesti beretika dan mematuhi adab masyarakat umum.

“Kalau saya analogikan, di kolam renang pakaian renang yah tidak masalah. Kalau pakaian renang digunakan ke pasar yah jadi masalah. Secara umum seperti itu,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung Parlemen, Kamis (29/9).

Penggunaan media sosial menyimpang dapat dikenakan pelanggaran hukum. Melakukan ujaran kebencian pun dapat dijerat melalui Pasal 310 dan 311 KUHP. Sayangnya, ancaman pidana kedua pasal tersebut terbilang ringan. Sedangkan ancaman dalam Pasal 27 UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) terbilang tinggi, yakni 6 tahun.

Dalam pelaksanaan kampanye politik Pilkada, tak dapat dihindari adanya kampanye hitam yang dilakukan salah satu pendukung. Padahal ketika menyerang dengan basis data dan fakta merupakan sebuah kebenaran. Namun menyerang dengan tendesius dan tidak berbasis data dan fakta dapat dijerat dengan pidana. (Baca Juga: Akademisi dan Aktivis Adu Argumen Soal SE Hate Speech)

“Tentu kita minta nanti Polri kerjasama dengan twitter, dalam rangka awasi sosmed yang bersifat pelanggaran hukum. Tentu jangan sampai yang buka kategori pelanggaran hukum dibawa ke ranah hukum,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu lebih lanjut mengatakan, pengawasan dilakukan tanpa membatasi kebebasan orang berpendapat di medsos. Di era reformasi dan demokrasi kebebasan berpendapat mesti dihargai, sepanjang dapat dipertangungjawabkan. Nah ketika melakukan pelanggaran, maka menjadi ranah aparat kepolisian untuk melakukan penindakan.

“Harus bisa mengaktegorikan mana negative, mana black campaign. Jangan sampai penyampaian informasi berbasis fakta data malah ditindak, kan tidak pas juga,” ujarnya.

Masinton mengatakan perlu pula peningkatan terhadap kualitas aparat di lapangan. Setidaknya menambah pengetahuan dan unsur-unsur pelanggaran hukum dalam ujaran kebencian. Menurutnya, ketika terjadi dugaan pencemaran nama baik dan penghinaan mesti jelas klasifikasinya. “Tentu kita harapkan penggunaan medsos etika publik harus dijaga betul. Tidak boleh digunakan utk menyerang dan melakukan pembunuhan karakter,” ujarnya.

Direktur Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan pertarungan sengit kampanye calon pasangan dalam Pilkada berlangsung sengit di medsos. Memang medsos menjadi ruang dan realitas tersendiri. Apalagi setiap orang sudah memiliki gadget smartphone. “Jadi harus diakui di titik itu, sosmed memang berbahaya. Medsos jadi mengkampanyekan fitnah. Saya khawatir di taun 2016 fenomena seperti ini akan terulang lagi. Potensi ke sana pasti besar,” ujarnya.

Analis Kebijakan Madya Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Rikwanto mengatakan institusinya sudah menyatakan siap melakukan pengawalan dan menjaga pelaksaan Pilkada agar berjalan lancer. Menurutnya pendepat dan pandangan pemilik account di medsos beragam. Perbedaan persepsi soal masuk tidaknya pelanggaran ujaran kebencian pun tak terhindakan. Padahal kewenangan menjudge seseorang melakukan ujaran kebencian atau sebaliknya berada di ranah kepolisian berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku.

“Tapi juga jangan mudah menjudge sesuatu,” ujarnya. (Baca Juga: Empat Tindak Pidana Paling Rawan dalam SE Hate Speech)

Kapolri sudah menerbitkan Surat Edaran No.6 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Dalam SE Kapolri 6/2015 mengatur da mengklasifikasi ujara kebencian dan black campaign. Menurutnya SE Kapolri 6/2015 memberikan petunjuk jajaran kepolisian di lapangan dalam menemukan ujaran kebencian yang dapat dikategorikan pelanggaran pidana, serta yang masuk dalam batas kewajaran.

“Tugas mereka (jajaran kepolisian, red) bukan menemukan dan menghukum, tetapi memediasi dan memberikan arahan agar anda jangan lakukan ujaran kebencian. Diberikan pemahaman mana yang masuk kategori ujaran kebencian, berita bohong, dan lain-lain. Jadi tidak asal main tangkap,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait