PP Hunian Orang Asing Perlu Revisi, Begini Argumentasi Perca Indonesia
Berita

PP Hunian Orang Asing Perlu Revisi, Begini Argumentasi Perca Indonesia

UUPA tak menyaratkan perjanjian kawin.

ASH
Bacaan 2 Menit
Juliani W. Luthan, Ketum Perca Indonesia (kanan). Foto: RES
Juliani W. Luthan, Ketum Perca Indonesia (kanan). Foto: RES
Setelah mengambil jalur judicial review, Pengurus Masyarakat Perkawinan Campuran (PerCa Indonesia) bakal menempuh jalur executive review terhadap berlakunya PP No. 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Upaya ini ditempuh setelah terbit putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-XIII/2015  terkait perjanjian kawin yang memberi “jalan keluar” bagi WNI pelaku kawin campur untuk bisa memiliki hak atas tanah.

PerCa Indonesia menilai selain bertentangan dengan putusan MK tersebut, materi PP Hunian Orang Asing ini dibentuk tanpa mengindahkan asas-asas pembentukkan peraturan perundang-undangan yang diamanatkan UU No. 12 Tahun 2011. Seperti, antar pasal per pasalnya tidak sinkron (tidak harmoni) dan beberapa Undang-Undang tidak menjadi dasar pembentukan.

“Makanya, kita juga mendesak Pemerintah untuk segera merevisi PP No. 103 Tahun 2015 ini,” ujar Ketua Pengurus Perca Indonesia, Juliani W Luthan dalam konperensi pers di Jakarta, Rabu (09/11) kemarin.

Juliani menilai materi muatan PP Hunian Orang Asing ini tidak konsisten karena seharusnya diperuntukkan bagi warga negara asing (WNA), tetapi turut mengatur subjek hukum WNI pelaku kawin campur. “PP 103 ini seharusnya hanya diperuntukkan orang asing, bukan untuk WNI pelaku kawin campur,” kata Juliani.

Selain itu, UU No. 5 Tahun 1960  tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang menjamin hanya WNI yang boleh memiliki hak atas tanah tidak menjadi dasar menimbang terbitnya PP Hunian Orang Asing ini. Demikian pula dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 29 UU Perkawinan yang sudah dimaknai secara bersyarat oleh MK. (Baca juga: Perjanjian Perkawinan dan Hal yang Diatur di Dalamnya).

“Memang ada UU lain yang menjadi dasar menimbang, tetapi PP Hunian Orang Asing ini tidak me-refer ke UU Perkawinan. Intinya, kita tidak melihat UU terkait menjadi dasar pembentukan PP tersebut. Ini kan jadi tidak sinkron,” lanjutnya. (Baca juga: Hakim Kamar Agama: Kawin Kontrak Itu Prostitusi Berkedok Agama).

Ketidaksinkronan ini juga terlihat dalam rumusan Pasal 3 PP Hunian Orang Asing ini. Misalnya, Pasal 3 ayat (1) PP Hunian Orang Asing menyebutkan “WNI yang melaksanakan perkawinan (campuran) dengan Orang Asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan WNI lainnya WNI lainnya”. Ayat (2)-nya disebutkan “Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri yang dibuat dengan akta notaris.”

”Di Pasal 3 ayat (1) disebut WNI pelaku kawin campur boleh memiliki hak atas tanah, tetapi kenapa di Pasal 3 ayat (2) memakai syarat harus punya perjanjian pemisahan harta yang disahkan notaris?”

Lagipula, kata dia, dalam UUPA tidak ada pasal yang mengatur kepemilikan hak atas tanah bagi WNI mensyaratkan ada perjanjian kawin atau perjanjian pisah harta. Dalam Permen tentang Pendaftaran Tanah, syarat kepemilikan hak atas tanah bagi WNI. Seperti permohonan pendaftaran, akta peralihan hak tanah, surat kuasa (apabila diwakilkan), kartu tanda penduduk, kartu keluarga, sertipikat, bukti pelunasan BPHTB, bukti pelunasan PPh.

“Syarat harus ada perjanjian pemisahan harta kan tidak sinkron dengan aturan syarat pendaftaran tanah. Karena itu, kita berharap MA dan Pemerintah bisa merevisi PP Hunian Orang Asing ini,” harapnya.               

Sebelumnya, PerCa Indonesia telah melayangkan uji materi Pasal 3 ayat (2) PP Hunian Orang Asing. Mereka berharap PP Hunian Orang Asing ini dibatalkan MA dengan memerintahkan Pemerintah untuk mencabut PP ini. Atau minimal Pasal 3 ayat (2) dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum.  

Aturan itu dinilai merugikan dan mendiskriminasi WNI pelaku kawin campur. Sebab, bagi WNI pelaku kawin campur kepemilikan hak atas tanah berupa hak milik (HM) atau hak guna bangunan (HGB) (properti) masih disyaratkan mengantongi perjanjian pemisahan harta yang dibuat sebelum atau saat perkawinan dengan akta notaris. (Baca juga: Persoalan Ini ‘Hantui’ Pelaksanaan Reforma Agraria).

Padahal, putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 sudah menggariskan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, saat, atau selama perkawinan berlangsung sesuai kebutuhan hukum masing-masing pasangan suami-istri (pasutri). Sebab, faktanya tidak semua pasutri baik WNI pelaku kawin campur maupun perkawinan sejak awal membuat perjanjian kawin.
Tags:

Berita Terkait