Praktisi HKI Pertanyakan Beberapa Ketentuan dalam UU Merek
Berita

Praktisi HKI Pertanyakan Beberapa Ketentuan dalam UU Merek

Ternyata ada beberapa peraturan perundangan-undangan bidang HKI (Hak Kekayaan Intelektual), termasuk dua paket baru yakni UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten dan UU No.15 Tahun tentang Merek, yang dianggap kurang jelas. Padahal proses pembahasannya di DPR cukup lama.

Muk/APr
Bacaan 2 Menit

Celah Peninjauan Kembali

Sementara itu, praktisi HKI, Amalia Rooseno, memberi perhatian pada masalah Peninjauan Kembali (PK). Ia berpendapat, masalah ini perlu mendapat perhatian khusus karena UU No.15 Tahun 2001 tidak mengatur secara tegas tentang upaya hukum PK.

Menurut Amalia, karena tidak ada ketentuan tegas masalah PK dalam UU Merek yang baru ini, maka upaya hukum tersebut berlaku ketentuan Pasal 66  76 UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang merupakan ketentuan umum mengenai Peninjauan Kembali.

Senada dengan Amalia, Gunawan mengemukakan bahwa selain upaya hukum kasasi, Pasal 58 (1) UU No.14 Tahun 1997 tentang Merek memberikan kesempatan pengajuan upaya hukum luar biasa, yakni dengan Peninjaun Kembali. Namun dalam UU No.15 Tahun 2001 yang menggantikan UU No.14 Tahun 1997 tersebut, tidak ada ketentuan  yang mengatur masalah PK ini secara tegas.

Pasal 70 (1) UU No.15 Tahun 2001 hanya menyebutkan: "Terhadap putusan Pengadilan Niaga yang memutuskan gugatan pembatalan hanya dapat diajukan kasasi." Gunawan berpendapat, boleh jadi nantinya akan timbul perbedaan penafsiran terhadap ketentuan tersebut.

Gunawan berpendapat, pihak yang menafsirkan secara historis, sistematis, dan berfokus pada UU Merek sebagai lex specialis akan mengatakan bahwa hanya kasasi sajalah upaya hukum yang dapat dilakukan dan setelah itu tidak dapat diajukan PK.

Namun, ia menyatakan dapat memberi penafsiran yang menyatakan apabila tidak diatur secara tegas bahwa peninjauan kembali tidak dapat dapat dilakukan, maka yang berlaku adalah ketentuan hukum secara umum dalam UU No.14 Tahun 1985. Dalam ketentuan ini, terhadap semua putusan MA dapat diajukan PK apabila ada cukup alasan untuk itu.

Saat ini, permasalah tersebut tampaknya bergantung juga pada sikap badan peradilan. Dalam permasalahan perkara kepaitan, Pengadilan Niaga memang menyediakan register untuk kasasi dan PK. Hal ini secara tegas diatur oleh UU No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

Nah, jika tidak diatur masalah PK secara tegas dalam hal perkara pembatalan pendaftaran merek, sudah seharusnya pula tidak ada register ini di Pengadilan Niaga. Jika tidak ada register di Pengadilan Niaga, PK diajukan ke MA melalui siapa?

Tags: