Presiden Diminta Batalkan R-Perpres Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non Yudisial
Berita

Presiden Diminta Batalkan R-Perpres Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non Yudisial

Rencana tersebut menunjukan pengingkaran hak korban dan ketiadaan kemauan politik pemerintah. Bahkan, patut diduga sebagai aksi penyelundupan hukum dalam mengarusutamakan mekanisme non yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Pengacara Publik LBH Jakarta lain, Nelson Nikodemus Simamora melanjutkan ada tendensi menyelamatkan para pelaku pelanggar HAM berat masa lalu dari pertanggungjawaban hukum melalui mekanisme pengadilan HAM. Hal ini terjadi akibat adanya konflik kepentingan di dalam tubuh pemerintahan. Sebab, dia menuding Presiden Jokowi dikelilingi banyak aktor yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat masa lalu.

Bahkan, kata Nelson, banyak menempati kursi jabatan penting dalam pemerintahan. Dia meminta pemerintah Indonesia mencontoh praktik positif di beberapa negara. Seperti Australia yang pada tahun 2008 dengan meminta maaf kepada “Stolen Generations”, penduduk Aborigin yang menjadi korban pelanggaran HAM karena dipisahkan secara paksa dari orang tua mereka karena kebijakan asimilasi yang berlangsung sejak abad ke-19.

Selain itu, Belanda yang meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya akibat kejahatan perang sepanjang 1945-1949 (pembantaian Rawagede dan pembantaian Westerling, red). Bahkan Belgia, Jerman, Afrika Selatan, Amerika Serikat yang meminta maaf secara resmi dan terbuka kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu.

Dia menilai semestinya Pasal 14 Konvensi Anti Penyiksaan (Committee Against Torture) yang mengatur mengenai permintaan maaf negara menjadi landasan bagi pemerintah menebus kesalahan terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Karena itu, Presiden Indonesia sebagai kepala negara dan pemerintahan semestinya melakukan upaya permintaan maaf kepada para keluarga dan korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

Selain itu, melakukan tindakan kongkrit yang berperspektif korban. Seperti pengungkapan kebenaran, penegakan hukum, dan reformasi kelembagaan sebagaimana tertuang dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 56/83 tentang Kewajiban Negara atas Tindakan Pelanggaran Hukum Internasional pada tanggal 12 Desember 2001.

LBH Jakarta menilai para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu harus diadili di Pengadilan HAM untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, bukan mengganti dengan mekanisme non-yudisial. Sebab, korban dan keluarganya berhak atas kebenaran (right to truth) dan keadilan terkait peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi.

Ironisnya, pasca reformasi hingga saat ini tak ada kemajuan signifikan yang dilakukan negara menjalankan kewajibannya dalam pengungkapan kebenaran, penegakan hukum dan reformasi kelembagaan untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Berbagai kasus pelanggaran HAM yang telah selesai dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM tidak kunjung ditindaklanjuti (oleh Kejaksaan, red).

Tags:

Berita Terkait