Sejumlah Masukan untuk Pengembangan Praktik Pengadilan HAM
Berita

Sejumlah Masukan untuk Pengembangan Praktik Pengadilan HAM

Seperti menyusun standar pembuktian yang disepakati bersama. Perlu peningkatan pengetahuan dan pemahaman pada Komnas HAM, Kejaksaan, dan Pengadilan tentang kerangka hukum kejahatan HAM berat, teknis investigasi, pembuktian, penuntutan, dan interpretasi hukum.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi Pengadilan HAM: Hol
Ilustrasi Pengadilan HAM: Hol

Selama 21 tahun sejak terbitnya UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc hanya menyelesaian 3 perkara yang telah diadili dan diputuskan. Dua perkara pelanggaran HAM Timor Timur dan Tanjung Priok, serta satu perkara pelanggaran HAM Abepura.

Padahal, ada sekitar 12 perkara dugaan pelanggaran HAM berat lain yang belum ditangani hingga saat ini, diantaranya kasus penembakan misterius 1982-1985; kerusuhan Mei 1998; peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; peristiwa simpang KKA Aceh pada 3 Mei 1999; peristiwa jambu keupok Aceh 2003; peristiwa wasior dan wamena 2001; peristiwa paniai 2014; dan lain-lain.

Wakil Ketua Internal Komnas HAM, Munafrizal Manan mengatakan refleksi pengadilan HAM dan pengadilan HAM Ad Hoc terdapat persoalan yang bertingkat-tingkat. Mulai dari desain mekanisme pembentukan pengadilannya; performa JPU dalam dakwaannya; peran hakim dan pendapat hukum dalam putusannya.

“Persoalan pelanggaran HAM berat, periode demi periode pemerintahan berlalu, tapi penyelesaiannya tak kunjung nyata,” kata Munafrizal dalam diskusi publik webinar bertajuk “Refleksi Praktik Pengadilan HAM di Indonesia”, Selasa (31/3/2021). (Baca Juga: Mengenali Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Terkait Penembakan Laskar FPI)

Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro mengatakan pembentukan Pengadilan HAM untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat telah diupayakan pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Tapi, Perppu tersebut dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh DPR menjadi UU. Selanjutnya, Perppu tersebut dicabut dan lahirlah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Pengadilan HAM permanen pertama di Indonesia, berawal dari pengadilan HAM Abepura yang merupakan ujung tombak harapan para korban. Kasus Abepura dikategorikan pelanggaran HAM berat, penyelesaiannya menggunakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” kata Andi Samsan Nganro dalam kesempatan yang sama.  

Sebelum adanya Pengadilan HAM ini, Andi memaparkan terdapat pengadilan HAM Ad Hoc di Timor Timur yang diberikan wewenang memeriksa kasus yang terjadi antara April dan September 1999. “Inilah pertama kalinya dalam sejarah peradilan di Indonesia, kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan perwira tinggi militer dan polri, serta pimpinan sipil diajukan ke pengadilan HAM Ad Hoc,” kata Andi Samsan.   

Tags:

Berita Terkait