Problematika Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Kolom

Problematika Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Terkait kasus “perundungan” atau penggeroyokan yang terjadi di kota Pontianak, Kalimantan Barat, terdapat tiga pendekatan analisis yang perlu diperhatikan.

Bacaan 2 Menit

 

Pertama, menurut informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, pada tanggal 29 Maret 2019 telah terjadi pengeroyokan oleh beberapa siswi SMA terhadap seorang siswi SMP yang disebabkan oleh rangkaian komunikasi tertulis di sosial media yang menyebabkan siswi SMA merasa tersinggung terhadap rangkaian perkataan siswi SMP.

 

Dalam peristiwa penggeroyokan, terdapat beberapa perbuatan yang dilakukan yang jika diakumulasi akan menjadi tindak pidana “penganiayaan”. KUHP Indonesia tidak memberikan definisi tentang makna penganiayaan. Pasal 351 ayat (4) KUHP hanya merumuskan bahwa penganiayaan disamakan dengan sengaja merusak kesehatan atau merugikan kesehatan orang lain. Referensi hukum pidana yang lain memberi pengertian atas penganiayaan sebagai perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau rasa tidak enak.

 

Adapun di Belanda, sejak dahulu penganiayaan ditentukan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Belanda atau Arrest HR tanggal 25 Juni 1894, W.6334 dan 11 Januari 1892, W.6138. Sehingga dalam suatu penganiayaan, perbuatan pelaku dikonstruksikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan: rasa sakit pada orang lain, luka pada tubuh orang lain, merugikan kesehatan orang lain, atau merusak kesehatan.

 

Jadi kesengajaan pelaku harus ditujukan pada satu atau beberapa perbuatan tersebut. Dalam hal ini rangkaian perbuatan yang siswi SMA lakukan dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap tubuh manusia dengan nama penganiayaan karena kesengajaan para pelaku memang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atas diri korban.

 

Selanjutnya, karena korban masih berusia kurang dari 18 tahun, maka sesuai dengan ketentuan umum UU PA yang menentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dengan demikian, UU PA diberlakukan kepada setiap pelaku yang melakukan berbagai perbuatan yang dilarang menurut UU tersebut, yang mana korbannya belum berusia 18 tahun termasuk anak dalam kandungan (masih berupa janin).

 

Terhadap para pelaku diancamkan aturan yang terdapat dalam UU PA, yakni Pasal 80 ayat (1) yang merumuskan: Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Pihak kepolisian telah melakukan pemanggilan dan pemeriksaan serta menetapkan tiga orang siswi SMA yang diduga telah melakukan penganiayaan.

 

Hasil visum dari RS yang dilansir oleh pihak yang berwenang menyatakan bahwa ketiga pelaku telah melakukan penganiayaan ringan terhadap korban. UU PA tidak memberikan definisi atas istilah penganiayaan, namun memberikan pengertian akan makna kekerasan sebagai setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Tags:

Berita Terkait