Problematika Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Kolom

Problematika Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Terkait kasus “perundungan” atau penggeroyokan yang terjadi di kota Pontianak, Kalimantan Barat, terdapat tiga pendekatan analisis yang perlu diperhatikan.

Bacaan 2 Menit

 

Ketiga, tentang pidana dan pemidanaan. Sebagai tindak lanjut atas kasus ini, maka pihak yang berwajib telah menetapkan tiga orang siswi SMA sebagai pelaku yang disangka telah melakukan penganiayaan terhadap siswi SMP tersebut. Dari kronologis peristiwa diketahui bahwa tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana) adalah bulan Maret 2019 dan para pelaku pada saat melakukan tindak pidana diketahui masih duduk di bangku SMA maka dapat diasumsikan bahwa mereka masih berusia kurang dari 18 tahun. Dikarenakan ketiga siswi SMA tersebut diduga masih berada di bawah usia 18 tahun, sehingga dalam usia ini pelaku dapat dikategorikan sebagai pelaku di bawah umur maka terhadap mereka akan digunakan UU khusus yaitu UU SPPA. UU SPPA ini diperuntukkan untuk menentukan penanganan bagi anak yang berkonflik dengan hukum yakni mereka yang menjadi pelaku tindak pidana saat usianya belum mencapai 18 tahun.

 

Berdasarkan usia pelaku saat melakukan tindak pidana, maka terhadap pelaku dapat diterapkan ketentuan dalam UU Perlindungan Anak (untuk menentukan tindak pidana apa yang telah dilakukan) dan UU SPPA, terkait bagaimana memperlakukan anak yang melakukan tindak pidana serta konsekuensi apa yang timbul sebagai akibat perbuatannya tersebut. Menurut UU SPPA, pelaku dapat dikategorikan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum dengan status anak yang diduga berkonflik dengan hukum (anak yang –diduga- melakukan tindak pidana); masih menurut SPPA, anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun namun belum mencapai usia 18 tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.

 

Pidana yang dapat diancamkan terhadap ketiga anak tersebut sesuai Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak dan sesuai Pasal 79 ayat (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sebagai berikut: “Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa”.

 

Berdasarkan kedua aturan tersebut maka hukuman maksimal yang dapat diancamkan kepada para pelaku ialah pidana penjara 1 tahun 9 bulan dan/atau denda maksimal 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah). Dikarenakan tindak pidana penganiayaan dilakukan oleh lebih dari tiga orang maka dapat diterapkan ajaran penyertaan. Menurut penulis jika petugas penegak hukum dapat membuktikan adanya kerja sama secara sadar dan kerja sama secara fisik antara para pelaku maka bentuk penyertaannya adalah turut serta melakukan penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP dan ancaman pidananya adalah sama untuk setiap pelaku.

 

Apabila pihak yang berwajib memandang perbuatan ini sebagai suatu perundungan atau pengeroyokan maka perlu diperhatikan pula ketentuan dalam Pasal 170 KUHP yang mengatur tentang ancaman pidana bagi orang yang secara terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang. Kemudian, menurut ketentuan dalam Pasal 7 UU SPPA, dikarenakan perbuatan para pelaku diancam dengan pidana penjara kurang dari 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, maka terhadap pelaku dapat diupayakan diversi.

 

Diversi merupakan upaya pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Mengapa dalam hal anak melakukan tindak pidana masih perlu diupayakan diversi? Karena hukum pidana dan sistem peradilan pidana ditengarai tidak membawa dampak yang konstruktif bagi perkembangan jiwa anak, baik kini dan nanti.

 

Dalam proses diversi akan dilakukan musyawarah dengan melibatkan pelaku dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif yang wajib memperhatikan: kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, serta kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Hasil Kesepakatan Diversi dapat berbentuk: pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Tags:

Berita Terkait