Problematika Pasal 281-282 RUU KUHP: Kemandirian dan Kebebasan Advokat
Kolom

Problematika Pasal 281-282 RUU KUHP: Kemandirian dan Kebebasan Advokat

Secara keseluruhan keberadaan Pasal 281 dan Pasal 282 RUU KUHP tersebut perlu ditinjau ulang oleh para pembuat undang-undang dengan melibatkan partisipasi organisasi advokat.

Bacaan 7 Menit

Keberatan dan sikap kritis seorang advokat terhadap jalannya proses persidangan tersebut tidak bisa secara serta-merta dikategorikan sebagai bagian dari gangguan dan penyesatan proses pengadilan dengan kualifikasi "tidak mematuhi perintah atau penetapan hakim", "tidak hormat", "menyerang integritas" atau "tidak memihak" hakim dalam sidang pengadilan. Karena advokat sebagai penegak hukum memiliki peran untuk mendorong penerapan dan prosedur hukum yang tepat, memastikan penerapan hukum tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan rasa keadilan individual dan/atau masyarakat serta mendorong agar hakim tetap netral dalam memeriksa dan memutus perkara.

Justru keberadaan advokat secara in concreto dalam bingkai integrated criminal justice system dapat menjadi kontrol terhadap peradilan dan tindakan sewenang-wenang hakim. Dalam sistem peradilan modern tidak ada peradilan tanpa advokat, juga tidak akan ada advokat tanpa lembaga peradilan. Jika hukum hadir sebagai penindas, maka advokat hadir sebagai wakil yang tertindas. Advokat secara moral memiliki tanggung jawab mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.

Apabila disigi berdasarkan kaidah hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung No.30 K/Kr/1969 yang menyatakan "Dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur sifat melawan hukum dari perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan". Maka tidak secara serta-merta perbuatan tersebut dikualifisir sebagai tindak pidana. Karena perbuatan tersebut tidaklah melawan hukum. Perbuatan tersebut adalah hak para advokat sesuai dengan ketentuan Pasal 14 jo. Pasal 15 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan (within sight and within hearing) dalam menjalankan profesinya dan membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Secara doktriner, rubrikasi tindakan advokat yang bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan merupakan tindakan yang dilakukan dalam konteks profesi atau pekerjaan yang mana menurut asas exceptio artis adalah pengecualian yang diberikan karena tindakan tersebut merupakan tindakan yang dilakukan dalam konteks pekerjaan atau profesi yang sekaligus mencakup maksud pembuat UU. Senada dengan Putusan MK No.26/PUU-XI/2013 yang mengatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan profesinya dengan itikad baik dan kepentingan pembelaan klien didalam maupun diluar sidang. Cogitationis poenam nemo patitur, pikiran dan pendapat berada diluar jangkauan pidana.

Sekalipun hakim sebagai pemegang kekuasaan administrasi di Pengadilan (gate keeper) diberikan kewenangan untuk itu dipersidangan, tetapi dalam prinsip due process of law dan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman menyatakan: "Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang". Asas "mengadili menurut hukum" salah satunya memuat aspek prosedural, yakni menyangkut hal-hal seperti equali treatment, equality before the law, fair trail, impartiality  dan audi et alteram partem, di mana setiap orang memiliki porsi yang sama dalam mempertahankan hak-haknya (right to defend) secara seimbang yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak terutama lembaga-lembaga penegak hukum.

Sedangkan untuk ketentuan Pasal 281 huruf c yang mengatur larangan mempublikasikan sidang pengadilan. Rumusan pasal a quo bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, unsur "merekam", "mempublikasikan secara langsung", atau "membolehkan untuk dipublikasikan" dalam rumusan Pasal a quo hampir sama dengan rumusan Pasal pidana dalam UU ITE sangat tidak jelas dan kabur (obscuur libel). Sehingga bertentangan dengan asas lex certa (undang-undang pidana berumus pasti dan tidak bermakna ganda) dan asas lexstricta (rumusan undang-undang pidana harus tegas dan tidak dapat dimaknai lain).

Keberadaan Pasal 281 huruf c juga dapat menjadi jebakan bagi hakim dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Karena asas hukum yang berlaku secara universal adalah setiap persidangan terbuka untuk umum. Dalam Pasal 64 KUHAP jo. Pasal 13 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa semua persidangan di pengadilan terbuka untuk umum. Peradilan dilakukan tertutup jika menyangkut perkara perceraian, kesusilaan, anak, atau perkara yang dimintakkan tidak terbuka karena alasan tertentu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait