Problematika Pemutusan Perjanjian bagi Perusahaan Jasa Pengamanan Saat Pandemi
Kolom

Problematika Pemutusan Perjanjian bagi Perusahaan Jasa Pengamanan Saat Pandemi

​​​​​​​Tulisan ini membahas mengenai permasalahan hukum yang dihadapi oleh BUJP Penyediaan Tenaga Pengamanan selaku PPJT terkait dengan pemutusan perjanjian secara sepihak oleh Perusahaan Pemberi Pekerjaan.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam praktiknya terdapat ‘penyimpangan’ dalam melakukan PHK oleh majikan, yang dicapai dengan kesepakatan yang baik antara kedua belah pihak melalui mekanisme pemberian kompensansi dan hak-hak kepada pekerja sesuai kesepakatan bersama yang disertai dengan pembuatan surat pengunduran diri oleh pekerja. Selain itu dalam kondisi keadaan krisis atau sangat terpaksa sebelum majikan melakukan PHK, maka dapat dilakukan tindakan ‘merumahkan’ pekerja terlebih dahulu.

 

Meskipun istilah ‘merumahkan’ pekerja tidak terdapat dalam perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia, namun untuk pertama kalinya istilah tersebut disebutkan dalam Surat Menaker pada tahun 1998 terkait dengan krisis moneter yang terjadi di tahun 1998 yaitu Surat Edaran Menaker Nomor: SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja Yang Dirumahkan Bukan Ke Arah Pemutusan Hubungan Kerja (SE-05).

 

SE-05 tersebut ditujukan oleh Menaker kepada Kepala Kanwil Departemen Tenaga Kerja Seindonesia, yang memberikan pedoman mengingat belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai tindakan ‘merumahkan’ pekerja.

 

Dalam SE-05 tersebut diberikan arahan sebagai berikut:

  1. Pengusaha tetap membayar upah secara penuh yaitu berupa upah pokok dan tunjangan tetap selama pekerja dirumahkan, kecuali telah diatur lain dalam Perjanjian Kerja, peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama;
  2. Apabila pengusaha akan membayar upah pekerja tidak secara penuh agar dirundingkan dengan pihak serikat pekerja dan atau para pekerja mengenai besarnya upah selama dirumahkan dan lamanya dirumahkan;
  3. Apabila perundingan melalui jasa pegawai perantara ternyata tidak tercapai kesepakatan agar segera dikeluarkan surat anjuran dan apabila anjuran tersebut ditolak oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berselisih maka masalahnya agar segera dilimpahkan ke P4 Daerah, atau ke P4 Pusat untuk PHK Massal.

 

Ketentuan mengenai kebijakan ‘merumahkan’ pekerja selanjutnya tertuang pula dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor: SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tanggal 28 Oktober 2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (SE-907). Esensi dari SE-907 yang merupakan himbauan dari Menteri Tenaga Kerja pada saat itu agar dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan maka PHK haruslah merupakan upaya terakhir, yang salah satunya caranya adalah dengan jalan meliburkan atau ‘merumahkan’ pekerjanya secara bergilir untuk sementara waktu yang mana tentunya harus dibahas dengan serikat pekerja atau dengan wakil pekerja terlebih dahulu untuk dapat dilakukan pembicaraan secara bipartit guna mencegah terjadinya PHK.

 

Untuk pekerja yang mempunyai Perjanjian PKWT dengan Perusahaan Pemberi Kerja, maka dalam hal terdapat pemutusan hubungan kerja atas inisiatif dari Perusahaan Pemberi Pekerjaan maka berdasarkan ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan maka Perusahaan Pemberi Pekerjaan harus membayar ganti rugi kepada pekerja sebesar upah pekerja hingga masa berakhirnya Perjanjian Kerja.

 

Kondisi mana berbeda dengan yang dialami oleh BUJP sebagai PPJT, di mana terdapat 2 buah perjanjian: a) Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja Satpam yang dibuat antara Perusahaan Pemberi Pekerjaan dengan PPJT dan b) Perjanjian Kerja yang dibuat antara PPJT dengan Satpam.

Tags:

Berita Terkait