Prof. M. Amin Suma: Nikah Beda Agama Hanya Sebagai Pintu Darurat
Profil

Prof. M. Amin Suma: Nikah Beda Agama Hanya Sebagai Pintu Darurat

Bangkai yang haram saja bisa dimakan kok kalau dalam situasi darurat.

Oleh:
M-22/Ali/Amr
Bacaan 2 Menit

Iya, mungkin agak kabur memahaminya. Tetap haram walaupun situasionalnya seperti yang tadi. Tetap haram, tetap berdosa. Yang pengecualian yang sulit mencari itu. Karena memang itu darurat. Bangkai aja bisa dimakan kok kalo haram. Ini bukan bangkai, ini manusia. Nah itu bedanya.

Apa pengecualian ini secara norma perlu diatur?
Itu perlu diatur, tapi yang diberi wewenang pengadilan. Ngga bisa diserahkan kepada pakar hukum. Sebenarnya KHI itu kan disiapkan menjadi hukum terapannya peradilan agama. Tapi, sampai sekarang belum disahkan dan masuk prolegnas. Perlu diatur itu, karena perkawinan beda agama belum diatur. Belum ada. Kan saya tulis di sana kawin campur itu. Jadi memang belum ada, karena tahun 1974 perseteruan sangat kuat. Yang demo ke DPR juga orang islam. Dan saat itu belum ada yang menikah beda agama. Sekarang ternyata perkembangannya lain. Apapun motivasinnya seakan kebutuhan masyarakat. Yang penting diatur tegas.

Maksudnya, gerbang darurat itu dijadikan norma?
Kayak poligami. Itu kan pengecualian. Kita kan menganut monogami, tapi negara memberikan tempat. Setidaknya paham agama masih memungkinkan. Dalam kasus tertentu dimungkinkan lewat izin pengadilan. Andaikata saya jadi hakim, ngga semuanya ditolak. Selalu pengecualian itu ada. Logika hukum sekarang jangan diamburadulkan. Andaikata ada orang idiot atau kurang, kalau dibolehkan apa bisa? Pengecualian itu banyak. Hukum yang pelik kan kasusnya. Norma kan mudah.

Kalau sudah bicara hak selesai sudah. Zaman sekarang kan hak yang dituntut sudah selesai. Tapi dalam hukum islam kan ada kewajiban. Ada hak kewajiban asasi, itu sudah melekat.

Apa menurut Anda ini cukup mendesak untuk segera diatur?
Selama ini belum diatur dengan undang-undnag persoalannya berjalan terus. Ngga selesai-selesai. Penyebabnya kenapa ini marak, karena belum ada aturan jelas. Kalau sudah diatur, lalu ada yang keberatan, itu biasa. Kalau hukum itu kan mengatur dan memaksa. Pada prinsipnya harus seagama sesuai Pasal 2 ayat (1). Pada keadaaan tertentu dimungkinkan yang bersangkutan mendapatkan izin dari pengadilan yang berwenang. Kan ada jalan keluarnya kan.

Apakah pengaturan ini perlu dimasukkan ke dalam revisi UU Perkawinan?
Kalau kata saya, bisa jadi iya. Hemat saya lebih kepada waktu itu (UU Perkawinan disahkan pada 1974,-red), maaf saya terus terang lebih yang membutuhkan UU Perkawinan adalah umat islam. Karena yang non muslim sudah punya aturan sendiri, yang muslim ini belum ada aturannya. Penduduk indonesia dalam melaksanakan perkawinan banyak penyimpangan, sehingga anak usia 7 – 8 tahun dinikahkan. Alasannya karena nggak ada hadis nabi yang mengatur. Itu pikirannya pikiran zaman itu. Padahal faktornya bisa jadi faktor ekonomi atau pendidikan, tapi muaranya ke situ. Tahun 1970-an itu kata agama itu identik dengan islam. Maaf, pengadilan agama itu ya pengadilan islam. Begitu juga KUA atau TPA.

Zaman dulu menyebut hindu itu, pasti Hindu Bali. Ada Balinya. Zaman sekarang berbeda, agama tidak bisa dilokalisir. Pergaulan semakin luas, tidak ada larangan kan. Interaksi, jalinan komunikasi terjadilah bibit cinta tanpa disemai. Sampai nikah ternyata beda. Tahun 70-an seperti itu kecenderungannya.

Tags:

Berita Terkait