Prof Susi Dwi Harijanti: Putusan MK Usia Capres-Cawapres Strong Abusive Judicial Review
Terbaru

Prof Susi Dwi Harijanti: Putusan MK Usia Capres-Cawapres Strong Abusive Judicial Review

Pengadilan yang seharusnya menjadi last line of defense demi terwujudnya tatanan ketatanegaraan yang demokratis, dalam praktiknya justru menjatuhkan putusan-putusan yang sengaja menyerang inti dari demokrasi elektoral.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof Susi Dwi Harijanti . Foto: RES
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof Susi Dwi Harijanti . Foto: RES

Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 tentang pengujian Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu membuka peluang bakal calon presiden (Capres) dan calon wakil Presiden (Cawapres) yang berusia belum genap 40 tahun dengan syarat harus berpengalaman sebagai kepala daerah. Banyak pihak menilai putusan itu sarat kepentingan politik praktis karena berdekatan dengan tahap pendaftaran capres-cawapres pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2024.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof Susi Dwi Harijanti menilai secara umum putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023 merupakan perwujudan dari pengujian UU yang ‘abusieve judicial review’. Mengutip artikel yang ditulis pakar hukum David Landau dan Rosalind Dixon, Prof Susi mengatakan dalam kasus ini pengadilan yang seharusnya menjadi ‘last line of defense’ demi terwujudnya tatanan ketatanegaraan yang demokratis. Tapi dalam praktiknya, justru menjatuhkan putusan-putusan yang sengaja ‘menyerang’ inti dari demokrasi elektoral.

“Apa yang disebut abusive judicial review melihat putusan itu legitimasi terhadap berbagai UU yang pembentukannya tidak demokratis, putusan tentang pemilu yang melintasi hak-hak dan lain-lain. Court’s capture,” katanya dalam kegiatan eksaminasi putusan MK yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jumat (27/10/2023) kemarin.

Dia menerangkan, kenapa abusive judcial review ini terjadi, karena rezim ingin terus mempertahankan kekuasaannya. Hal ini disebut juga sebagai abusive constitutionalism, yang digunakan sebagai salah satu bentuk strategi penguasa. Apa bedanya proses judicial review secara wajar dengan judicial review sewenang-wenang?. Setidaknya ada 2 perbedaan.

Baca juga:

Pertama, menunjukkan fungsi tertentu yang dilaksanakan pengadilan, yang dilakukan sekedar membatasi tatanan demokratik ketimbang distribusi kekuasaan. Misal kekuasaan antara pusat dan daerah. Kedua, tidak secara ideologis sejalan dengan rezim politik tapi di ‘capture’ atau digunakan rezim penguasa.

Baginya, hal ini terjadi ketika tindakan eksekutif yang nyata membatasi sesuatu yang berkaitan dengan demokrasi atau inti demokrasi. Mereka melegitimasi tindakan yang dilakukan cabang kekuasaan eksekutif atau ketentuan UU yang dibuat kekuasaan eksekutif. Atau bisa juga tindakan abusive judicial review ini untuk memindahkan, memundurkan proteksi atau perlindungan demokrasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait