Prof Susi Dwi Harijanti: Putusan MK Usia Capres-Cawapres Strong Abusive Judicial Review
Terbaru

Prof Susi Dwi Harijanti: Putusan MK Usia Capres-Cawapres Strong Abusive Judicial Review

Pengadilan yang seharusnya menjadi last line of defense demi terwujudnya tatanan ketatanegaraan yang demokratis, dalam praktiknya justru menjatuhkan putusan-putusan yang sengaja menyerang inti dari demokrasi elektoral.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

MK melakukan strong abusive judicial review melalui beberapa hal antara lain tidak taat terhadap hukum acara, penilaian legal standing lemah, dan tidak ada argumentasi hukum, konflik kepentingan. Serta tidak mengikuti putusan MK sebelumnya, lalu alasan berbeda (concuring opinion) juga layak diperdebatkan apakah itu pendapat berbeda (dissenting opinion).

“Keseluruhan, dibangun pandangan hukum yang tidak rasional,” ujarnya.

Di ujung paparannya, Prof Susi menyimpulkan putusan MK perkara No.90/PUU/XXI/2023 menunjukkan adanya strong abusive judicial review. Padahal sejatinya putusan yang diberikan harus bersifat deliberatif.

Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan pengadilan tidak boleh mengubah aturan pemilu yang waktunya sangat dekat dengan proses pemilu. Sebagaimana diketahui putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 diucapkan ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) bakal menggelar tahap pendaftaran capres-cawapres. Dampaknya, bakal membingungkan pemilih dan petugas penyelenggara pemilu. Bahkan menimbulkan spekulasi dan teori konspirasi.

“Ini menimbulkan daya rusak terhadap pemilu yang tertib hukum,” tegasnya.

Mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu mengatakan, akibat putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, KPU berencana merevisi Peraturan KPU. Padahal proses pendaftaran capres-cawapres telah selesai. “Hal ini jelas mengganggu kepastian hukum dan MK memperlihatkan itu,” urainya.

Titi mencatat, MK kerap mempertimbangkan kerangka hukum tahapan pemilu. Misalnya ketika memutus perkara terkait pemilu serentak, yang sebenarnya bisa digelar pada 2014 tapi kemudian MK mempertimbangkan agar pelaksanaan dimulai 2019. Begitu juga putusan MK tentang penanganan perselisihan pemilihan kepala daerah (Pilkada), di mana putusan MK menyebut lembaganya tidak berwenang memeriksa perkara perselisihan hasil Pilkada. Tapi MK tidak serta merta, karena pelaksanaaannya baru dilakukan setelah ada UU yang mengatur lembaga yang menangani sengketa Pilkada.

Nah putusan Mk No.90/PUU-XXI/2023 diputus 16 Oktober 2023, apakah bisa partai politik melakukan rekrutmen secara demokratik dan terbuka untuk pilpres? Jadi kami mengamini ada tekanan politik praktis dan pragmatis (terhadap MK,-red),” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait