Publik Kritisi “Penetrasi” TNI dalam Pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme
Berita

Publik Kritisi “Penetrasi” TNI dalam Pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme

Semestinya, tugas dan fungsi TNI melaksanakan kebijakan pertahanan negara dan bukan membuat kebijakan pertahanan negara.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Rancangan Perpres tersebut oleh masyarakat sipil dipandang banyak memuat substansi pasal yang bertentangan dengan undang-undang, terutama Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. 

Komnas HAM bahkan menilai rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme memberikan kewenangan yang terlalu luas dan berlebihan kepada TNI sehingga berpotensi terjadi pelanggaran HAM.

Di tengah urungnya pemerintah merevisi UU Peradilan Militer, tugas TNI yang terlalu luas dan berlebihan berpotensi menimbulkan problem impunitas dan akuntabilitas, mengingat TNI memiliki sistem peradilan sendiri dan tidak tunduk pada sistem peradilan umum.

Peneliti IMPARSIAL, Hussein Ahmad menyebutkan sikap TNI yang secara tidak langsung melibatkan diri dalam proses pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme merupakan bentuk lain dari upaya memengaruhi dan memaksa otoritas sipil utuk mengesahkan rancangan perpres tersebut. Padahal, rancangan perpres tersebut masih dalam proses pembahasan antara Pemerintah dan DPR.

“Langkah-langkah politik TNI dalam memengaruhi rancangan perpres sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi mengingat TNI memiliki monopoli atas penggunaan senjata dan kekuatan koersif,” ujar Hussein.

Meskipun pihaknya menilai pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme bisa dimungkinkan, Namun Hussein menetapkan adanya prasyarat sebelum kebijkan itu diloloskan.  Menurut Hussein, akuntabilitas hukum keterlibatan TNI dalam mengatasi aksi Terorisme harus tunduk pada sistem peradilan pidana umum. Pelibatan militer dimungkinkan untuk menghadapi ancaman terorisme yang sifatnya nyata (imminent threat).

“Dimana ancaman terorisme mengancam kedaulatan negara yang kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa lagi mengatasi aksi terorisme (last resort) dengan dasar keputusan politik negara bukan perintah presiden,” urai Hussein.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait