Publik Kritisi “Penetrasi” TNI dalam Pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme
Berita

Publik Kritisi “Penetrasi” TNI dalam Pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme

Semestinya, tugas dan fungsi TNI melaksanakan kebijakan pertahanan negara dan bukan membuat kebijakan pertahanan negara.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme masih berlangsung di DPR. Belakangan, rencana pemerintah dalam melibatkan TNI ini mulai mendapat respon dari internal TNI. Dalam beberapa kesempatan, komandan pasukan khusus dari masing-masing matra ikut menyampaikan ke publik mengenai pentingnya Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.

Tidak hanya itu, Koalisi Masyarakat Sipil melihat ada upaya TNI untuk meloloskan rancangan Perpres yang tengah di bahas di DPR tersebut. “Bahkan TNI juga diduga secara aktif melakukan lobi-lobi di DPR untuk mendukung rancangan Perpres,” ujar Peneliti bidang HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie kepada hukumonline, Kamis (3/9).  

Menurut Ikhsan, langkah tersebut merupakan bentuk fait accompli TNI terhadap otoritas sipil. Ikhsan menilai, sebagai alat pertahanan negara, TNI seharusnya berada pada posisi sebagai pelaksana kebijakan negara, bukan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan negara.

TNI lanjut Ikhsan, tidak seharusnya menunjukkan sikap politik kepada publik bahkan di duga melakukan lobi-lobi kepada DPR untuk mengesahkan rancangan Perpres tersebut. Langkah-langkah TNI tersebut dinilai terkesan memaksakan otoritas sipil untuk segera mengesahkan rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. (Baca Juga: Keterlibatan TNI Tangkal Terorisme Harusnya Sebagai Upaya Terakhir)

Dalam negara demokrasi yang menghormati prinsip supremasi sipil, pembentukan perpres dan undang-undang sepenuhnya berada di tangan otoritas sipil. Karena itu, Ikhsan mengingatkan sepatutnya TNI untuk tunduk pada kebijakan otoritas sipil dan melaksanakan kebijakan tersebut. TNI tidak seharusnya melakukan langkah-langkah politik yang berupaya mendorong proses pengesahan perpres.

“Jika TNI memiliki padangan terkait perpres, seharusnya padangan tersebut disampaikan ke dalam pemerintahan dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan bukan disampaikan kepada publik, apalagi diduga sampai melobi ke DPR,” terang Ikhsan.

Saat ini rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang telah diserahkan Pemerintah kepada DPR. Secara substansial draft rancangan Perpres tersebut masih mengandung perdebatan di publik karena terdapat pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengancam hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi.

Rancangan Perpres tersebut oleh masyarakat sipil dipandang banyak memuat substansi pasal yang bertentangan dengan undang-undang, terutama Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. 

Komnas HAM bahkan menilai rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme memberikan kewenangan yang terlalu luas dan berlebihan kepada TNI sehingga berpotensi terjadi pelanggaran HAM.

Di tengah urungnya pemerintah merevisi UU Peradilan Militer, tugas TNI yang terlalu luas dan berlebihan berpotensi menimbulkan problem impunitas dan akuntabilitas, mengingat TNI memiliki sistem peradilan sendiri dan tidak tunduk pada sistem peradilan umum.

Peneliti IMPARSIAL, Hussein Ahmad menyebutkan sikap TNI yang secara tidak langsung melibatkan diri dalam proses pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme merupakan bentuk lain dari upaya memengaruhi dan memaksa otoritas sipil utuk mengesahkan rancangan perpres tersebut. Padahal, rancangan perpres tersebut masih dalam proses pembahasan antara Pemerintah dan DPR.

“Langkah-langkah politik TNI dalam memengaruhi rancangan perpres sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi mengingat TNI memiliki monopoli atas penggunaan senjata dan kekuatan koersif,” ujar Hussein.

Meskipun pihaknya menilai pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme bisa dimungkinkan, Namun Hussein menetapkan adanya prasyarat sebelum kebijkan itu diloloskan.  Menurut Hussein, akuntabilitas hukum keterlibatan TNI dalam mengatasi aksi Terorisme harus tunduk pada sistem peradilan pidana umum. Pelibatan militer dimungkinkan untuk menghadapi ancaman terorisme yang sifatnya nyata (imminent threat).

“Dimana ancaman terorisme mengancam kedaulatan negara yang kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa lagi mengatasi aksi terorisme (last resort) dengan dasar keputusan politik negara bukan perintah presiden,” urai Hussein.

Karena itu dirinya menilai langkah-langkah yang telah ditempu TNI dalam proses pembahasan rancangan Perpres tersebut mengesankan betapa bersikerasnya TNI untuk kembali ikut campur dalam kehidupan sipil. 

Hussein mengingatkan bahwa, kritik publik dalam Rancangan Perpres ini berkaitan dengan upaya menjaga reformasi TNI tetap berada di jalurnya, bukan berbasis overdosis HAM ataupun over supremasi sipil. Selain itu, ini juga berkaitan dengan tata kelola yang konstitusional, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta prinsip demokrasi dan HAM. 

Karena itu Hussei menyebutkan bahwa Koalisi Masyarakat Sipil meminta kepada otoritas sipil dalam hal ini Presiden dan DPR untuk melakukan kontrol sipil demokratik terhadap TNI dan mengendalikan TNI agar tidak melakukan sikap dan langkah politik dalam mendorong pengesahan Perpres TNI mengatasi aksi terorisme.

“Sudah semestinya tugas dan fungsi TNI melaksanakan kebijakan pertahanan negara dan bukan membuat kebijakan pertahanan negara,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait