Putusan Pengadilan Tinggi Den Haag, Pedoman Perjanjian Internasional
Kolom

Putusan Pengadilan Tinggi Den Haag, Pedoman Perjanjian Internasional

Terkait ganti rugi AS$50 miliar. Pedoman perlindungan investasi, termasuk mengenai bagaimana praktik korupsi dapat membatasi cakupan perlindungan dari perjanjian internasional tersebut.

Bacaan 2 Menit
Rahmat SS Soemadipradja dan Albert Marsman. Foto: Istimewa
Rahmat SS Soemadipradja dan Albert Marsman. Foto: Istimewa

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada 18 Februari 2020, Pengadilan Tinggi Den Haag mengembalikan ke keadaan semula putusan-putusan arbitrase yang memerintahkan Rusia untuk membayar AS$50 miliar kepada para mantan pemegang saham mayoritas Yukos, yang dulunya merupakan perusahaan minyak terbesar di Rusia. Putusan-putusan arbitrase tersebut memuat nilai ganti rugi yang terbesar yang pernah dijatuhkan dalam perkara arbitrase.

Putusan Pengadilan Tinggi setebal 134 halaman ini menjadi pedoman penting bagi negara-negara, terkait dengan cakupan perlindungan yang harus diberikan kepada investor asing berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional mengenai perlindungan investasi, termasuk mengenai bagaimana praktik korupsi dapat membatasi cakupan perlindungan dari perjanjian internasional tersebut.

Indonesia merupakan pihak dalam 26 perjanjian investasi bilateral, dan kemungkinan masih mempunyai kewajiban melindungi investor asing berdasarkan klausul transisi pada 30 perjanjian lainnya yang telah diakhiri beberapa tahun lalu. Putusan Pengadilan Tinggi tersebut juga memberi pedoman tambahan tentang proses sidang arbitrase internasional, termasuk perihal penilaian aset-aset industri migas dalam suatu arbitrase internasional, suatu topik yang relevan untuk Indonesia mengingat seringnya penggunaan klausul arbitrase dalam kontrak-kontrak pemerintah dan BUMN.

Latar Belakang

Perkara Yukos berawal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi hampir dua dekade yang lalu, tahun 2003, ketika Yukos --perusahaan minyak terbesar di Rusia pada saat itu--secara de facto dinasionalisasi dan Mikhail Khodorkovsky --CEO Yukos-- dan beberapa rekan bisnisnya dipenjarakan. Pada tahun 2004, para mantan pemegang saham mayoritas Yukos mengajukan gugatan arbitrase terhadap Negara Federasi Rusia berdasarkan Traktat Piagam Energi (Energy Charter Treaty/ECT). ECT adalah suatu perjanjian internasional multilateral berisikan ketentuan tentang perlindungan investasi yang secara tipikal ditemui dalam perjanjian-perjanjian investasi bilateral.  ECT juga memuat suatu klausul arbitrase yang memperbolehkan antara lain arbitrase UNCITRAL dan ICSID. Rusia menandatangani ECT pada tahun 1994 tetapi tidak pernah meratifikasinya.

Dalam arbitrase UNCITRAL di bawah naungan Permanent Court of Arbitration (PCA) yang berlangsung sekitar sepuluh tahun, majelis arbitrase menetapkan bahwa dirinya mempunyai yurisdiksi atas perkara ini, bahwa Rusia telah melakukan ekspropriasi (pengambilalihan paksa) atas Yukos serta mewajibkan Rusia membayar ganti rugi sebesar AS$50 miliar (Putusan Arbitrase). Mengingat sidang arbitrase dilakukan di Den Haag, di kantor pusat PCA, Rusia mengajukan banding atas Putusan Arbitrase tersebut ke Pengadilan Negeri Den Haag. Pada 2016, Pengadilan Negeri Den Haag membatalkan Putusan Arbitrase tersebut dengan alasan Rusia tidak pernah meratifikasi ECT dan bahwa pasal dalam ECT mengenai keberlakuan sementara ECT tidak berlaku terhadap klausul arbitrase, dengan demikian majelis arbitrase tidak mempunyai yurisdiksi.

Pada 18 Februari 2020, setelah melalui proses persidangan selama empat tahun, Pengadilan Tinggi Den Haag (Pengadilan Tinggi) membatalkan putusan Pengadilan Negeri tadi dan memutuskan bahwa majelis arbitrase mempunyai yurisdiksi, menolak sanggahan-sanggahan lainnya, dan mengembalikan Putusan Arbitrase tadi ke keadaan semula.

Unsur-unsur Utama Putusan Pengadilan Tinggi

  1. Mengenai interpretasi perjanjian investasi

Pendekatan interpretatif yang digunakan Pengadilan Tinggi menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian internasional mengenai investasi harus dibaca sebagaimana apa yang terbaca, bukan sebagaimana sepatutnya harus dibaca. Dalam hal ini, Pengadilan Tinggi menetapkan empat hal pokok dalam putusannya:

  1. Pertama, sebagai akibat dari pasal mengenai keberlakuan sementara pada perjanjian internasional tersebut, negara-negara yang menandatanganinya terikat dengan perjanjian ini bahkan sebelum meratifikasinya. Satu-satunya kesempatan di mana penerapan hal ini bisa berbeda adalah jika hukum nasional suatu negara menghalangi berlakunya pasal mengenai keberlakuan sementara dari perjanjian internasional tersebut (dalam arti bukan mengenai isi perjanjiannya) di negara itu (alinea 4.5.48). Dalam kasus ini, hukum Rusia tidak membatasi penerapan pasal mengenai keberlakuan sementara ketentuan-ketentuan ECT, sehingga Rusia terikat dengan ketentuan-ketentuan ECT tersebut, termasuk klausul arbitrase dalam ECT, meskipun Rusia tidak meratifikasinya (alinea 4.6 dan alinea 4.7).
  1. Kedua, definisi-definisi dalam perjanjian internasional mengenai investasi secara eksklusif menentukan kapan suatu entitas memenuhi syarat sebagai investor yang dilindungi dan kapan suatu aset memenuhi syarat sebagai suatu investasi yang dilindungi berdasarkan perjanjian internasional itu (alinea 5.1.6-5.1.8). Tidak ada prinsip hukum umum yang mengatakan perlindungan investasi tidak berlaku terhadap entitas-entitas yang dikendalikan oleh warga negara-warga negara dari Negara termohon (alinea 5.1.8.10). Oleh karena itu, pandangan bahwa para pemohon dikendalikan oleh warga negara-warga negara Rusia, jikapun hal itu benar, tidaklah relevan.
  1. Ketiga, ada asas hukum internasional yang mengatakan bahwa tidak ada perlindungan berdasarkan perjanjian internasional mengenai investasi yang harus diberikan oleh negara termohon terhadap investasi-investasi yang bertentangan dengan hukum negara itu, termasuk melalui korupsi (alinea 5.1.11.2). Tetapi, keabsahan suatu investasi bukanlah masalah yurisdiksi majelis arbitrase, tetapi yurisdiksinya lebih kepada substansi (merits) dari atau dapat diterima atau tidaknya gugatan arbitrase tersebut jika tidak ada ketentuan tertulis mengenai keabsahan dalam perjanjian tersebut (alinea 5.1.11.5). Oleh karena itu, dalam perkara-perkara ini, dugaan-dugaan adanya korupsi tidak bisa mengurangi kewenangan majelis arbitrase untuk mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa gugatan terhadap Negara termohon tersebut.
  1. Lebih dari itu, setiap dugaan korupsi harus cukup ada keterkaitannya dengan investasi yang dilakukan oleh para pemohon arbitrase untuk bisa diajukan sebagai sanggahan yang layak oleh Negara termohon. Pengadilan Tinggi menguatkan pertimbangan majelis arbitrase bahwa setiap dugaan korupsi yang dilakukan terkait dengan privatisasi Yukos pada tahun 1995/1996 oleh pihak-pihak atau entitas-entitas selain para pemohon, tidak cukup keterkaitannya dengan investasi yang dilakukan para pemohon pada tahun 1999/2001 (alinea 5.1.11.8-9 dan alinea 9.8.7-8).
  1. Keempat, meski perjanjian internasional tersebut tidak memberi perlindungan investasi terhadap tindakan perpajakan oleh negara termohon, hal demikian ini hanya berlaku terhadap tindakan-tindakan perpajakan yang bonafide, yaitu tindakan-tindakan yang secara aktual dan sebatas dalam rangka penagihan pajak dan bukan pada tindakan-tindakan yang diambil untuk tujuan lainnya (alinea 5.2.13).
  1. Proses sidang arbitrase

Terkait proses sidang arbitrase internasional, pertimbangan-pertimbangan oleh Pengadilan Tinggi menetapkan setidaknya tiga prinsip yang menggarisbawahi efisiennya arbitrase dan mempertegas kewenangan majelis arbitrase:

  1. Pertama, suatu majelis arbitrase memiliki tingkat kebebasan yang tinggi dalam menentukan nilai ganti rugi, setelah dianggap terbukti bahwa pemohon memang menderita kerugian (alinea 6.4.5). Termohon yang tidak mengajukan perhitungan ganti rugi tetapi sekadar tidak menyetujui perhitungan ganti rugi yang diajukan pemohon harus siap menerima bahwa majelis arbitrase akan membuat perhitungannya sendiri perihal ganti rugi tersebut (alinea 6.4.6).  Berdasarkan prinsip ini, Pengadilan Tinggi tidak menemukan kesalahan dari majelis arbitrase mengenai perhitungan untuk aset-aset industri migas yang bersangkutan, yaitu nilai ekuitas perusahaan minyak terbesar di Rusia dan dividen-dividen yang diperoleh para pemegang saham mayoritasnya, yang melibatkan analisis perusahaan-perusahaan yang setara, indeks-indeks pasar saham, dan model arus kas terdiskonto.
  1. Kedua, majelis arbitrase tidak perlu menyebutkan dalam putusannya setiap alasan untuk menyatakan mempunyai yurisdiksi atas perkara yang bersangkutan, namun cukup memberikan satu saja. Jika putusan ini disanggah, pengadilan yang berwenang untuk membatalkan putusan arbitrase tidak hanya mengkaji benar-tidaknya alasan perihal adanya yurisdiksi majelis arbitrase, tetapi mempertimbangkan juga alasan-alasan potensial lainnya yang tidak dipertimbangkan oleh majelis arbitrase (alinea 4.4.3-4.4.5).
  1. Ketiga, sekretaris atau asisten majelis arbitrase diperkenankan menuliskan bagian-bagian dari putusan arbitrase, termasuk pertimbangan-pertimbangan yang bersifat substantif (bukan hanya sekedar membuat ringkasan hal-hal yang diajukan para pihak), sepanjang bagian-bagian tersebut telah diverifikasi dan diterima oleh majelis arbitrase (alinea 6.6.10 dan alinea 6.6.14.1).
  1. Terkait arbitrase investasi dan penyelesaian sengketa investornegara secara umum

Selain pedoman mengenai hal-hal tersebut di atas, secara umum putusan Pengadilan Tinggi tersebut tampaknya mengkonfirmasi keabsahan arbitrase investasi dan penyelesaian sengketa investor-negara (investor-state dispute settlement/ISDS).

Di hadapan Pengadilan Tinggi, pihak Rusia telah mengajukan adanya kritikan terhadap ISDS pada beberapa tahun terakhir. Termasuk adanya aduan-aduan mengenai remunerasi para arbiter, penyusunan struktur dan penggunaan perusahaan-perusahaan holding dengan bobot yang terbatas di negara tempat pendiriannya, dan besarnya jumlah ganti rugi yang luar biasa besar dalam Putusan Arbitrase. Upaya ini rupanya tidak meninggalkan kesan baik pada Pengadilan Tinggi. Pengadilan Tinggi menegaskan bahwa Putusan Arbitrase tersebut, yang hingga saat ini merupakan putusan arbitrase dengan jumlah ganti rugi terbesar yang pernah dijatuhkan, telah memenuhi standar-standar proses hukum yang wajar dan adil, kebijakan publik dan prinsip keadilan.

Dengan bersikap demikian, Pengadilan Tinggi tampaknya mendukung tidak hanya Putusan Arbitrase tersebut, tetapi juga produk-produk lainnya dari sistem ISDS tersebut. Putusan Pengadilan Tinggi ini memuat acuan-acuan lengkap, secara keseluruhan ada sekitar 70 acuan, kepada putusan-putusan arbitrase yang dijatuhkan berdasarkan berbagai perjanjian investasi yang berbeda, yang diperlakukan oleh Pengadilan Tinggi sebagai penafsiran dan penerapan yang otoritatif mengenai hukum penanaman modal.

*)Albert Marsman adalah spesialis dalam arbitrase internasional & Rahmat SS Soemadipradja adalah advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait