Imbas Putusan Uji Formil Perubahan UU Minerba
Kolom

Imbas Putusan Uji Formil Perubahan UU Minerba

Dilihat dari perspektif hukum acara MK, putusan Perubahan UU Minerba ini memiliki dua dampak.

Bacaan 7 Menit

Watak Uji Formil

Uji formil, yang juga merupakan bagian dari pengujian UU, adalah perkembangan mutakhir dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Gagasan ini diwujudkan awal tahun 2000-an melalui perubahan UUD 1945 dengan memberikan kewenangan pengujian UU kepada MK. Bila dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang menjadi tanah kelahiran constitutional review melalui lembaga peradilan tersendiri, gagasan ini muncul dan diwujudkan tahun 1920-an. Terdapat beda kurang lebih delapan dekade antara Indonesia dan negara-negara Eropa dalam pengembangan kewenangan pengujian UU. Oleh karenanya, wajar bilamana pengembangan hukum acara uji formil di Indonesia pun seolah sedang mencari bentuk.

Perlahan tapi pasti, pencarian bentuk hukum acara formil satu per satu muncul dalam kandungan pertimbangan majelis hakim putusan permohonan uji formil. Hingga saat ini, MK belum pernah sekali pun mengabulkan permohonan uji formil yang diajukan oleh beragam pemohon. Namun, majelis hakim dalam pertimbangannya kerap memasukkan unsur untuk membentuk hukum acara. Diawali dengan Putusan uji formil UU Mahkamah Agung (lihat Putusan Nomor 27/PUU-VI/2009), MK membentuk preseden bahwa dalam uji formil terdapat tenggang waktu pengajuan permohonan. Uji formil suatu UU hanya dapat diajukan dalam waktu 45 hari setelah dimuat dalam Lembaran Negara. Dalam putusan yang sama, MK juga mempertimbangkan kriteria standing yang harus dipenuhi para pihak untuk dapat mengajukan permohonan uji formil.

Pada putusan uji formil Perubahan UU KPK (lihat Putusan Nomor 79/PUU-XVII/2019) MK tidak hanya membatasi tenggang waktu pengajuan permohonan uji formil tetapi juga membatasi proses pemeriksaan dalam persidangan. MK membuat komitmen bahwa dalam pemeriksaan uji formil maka putusan harus sudah bisa dibacakan dalam jangka waktu paling lama 60 hari kerja sejak perkara diregistrasi. Konsekuensinya, pemeriksaan perkara uji formil dan uji materiil tidak bisa digabungkan dalam satu permohonan. MK menyebutnya sebagai proses terpisah (split process), dalam bentuk penjatuhan putusan sela sebagai tindakan prioritas untuk menyelesaikan perkara uji formil terlebih dahulu.

Sebagaimana halnya karakter kewenangan pengujian UU secara umum, uji formil juga memiliki watak yang bersifat abstract review. Artinya, pengujian suatu UU tidak perlu dipicu oleh adanya kasus konkret terlebih dahulu. Watak abstract review dalam pengujian UU adalah untuk memberi justifikasi akan kedudukan Konstitusi sebagai hukum tertinggi. Sebab UU yang akan atau telah diterbitkan dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan Konstitusi.

Dalam konteks uji formil, watak abstract review diidentikkan dengan fungsinya sebagai tahap finalisasi dari proses legislasi sebab uji formil memungkinkan pengadilan untuk menjadi pembaca akhir dari rancangan undang-undang yang telah melalui serangkaian proses. Alec Stone Sweet dalam artikelnya berjudul The Birth and Development of Abstract Review: Constitutional Courts and Policy-Making in Western Europe berujar bahwa “…abstract review therefore functions to extend what would otherwise be a concluded legislative process— referrals in effect require the court to undertake a final "reading" of a disputed bill or law” (1990: 84).

Akan tetapi, uji formil memiliki keunikan. Meskipun berwatak abstract review tetapi dalam pemeriksaan uji formil yang menjadi titik perhatian adalah peristiwa hukum konkret dalam konteks prosedur pembentukan UU. Dalam uji formil Perubahan UU Minerba, salah satu yang menjadi perhatian pemohon adalah proses penyusunan Rancangan UU (RUU) yang diserahkan dan dilanjutkan kepada DPR periode berikutnya. Proses keberlanjutan ini disebut dengan RUU operan (carry over).

Prosedur kelayakan pembentukan Perubahan UU Minerba sebagai RUU operan inilah yang kemudian membuat majelis hakim terbelah. Putusan uji formil Perubahan UU Minerba tidak disepakati secara bulat. Ada tiga hakim konstitusi yang menyatakan beda pendapat (dissenting opinion). Kelompok mayoritas (terdiri dari 6 hakim konstitusi) menyimpulkan bahwa prosedur pembahasan Perubahan UU Minerba sebagai RUU operan merupakan proses yang telah sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Adanya peristiwa konkret berupa persetujuan untuk menyerahkan pembahasan lanjutan kepada DPR periode berikutnya dan pencantuman RUU dalam progam legislasi nasional (prolegnas) merupakan indikasi dari kesesuaian dengan prosedur pembentukan UU. Akan tetapi, kubu dissenting berpendapat lain.

Tags:

Berita Terkait