Imbas Putusan Uji Formil Perubahan UU Minerba
Kolom

Imbas Putusan Uji Formil Perubahan UU Minerba

Dilihat dari perspektif hukum acara MK, putusan Perubahan UU Minerba ini memiliki dua dampak.

Bacaan 7 Menit

Pesan Terselubung dalam Dissenting Opinion

Kubu dissenting, yang terdiri dari Wahiduddin Adams, Saldi Isra dan Suhartoyo, memiliki pandangan berkebalikan dengan mayoritas mengenai kelayakan prosedur pembahasan Perubahan UU Minerba sebagai RUU operan. Kubu dissenting menilai bahwa untuk layak disebut RUU operan, suatu RUU harus memenuhi dua persyaratan, yaitu: (i) telah memasuki tahap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM); dan (ii) dimasukkan kembali dalam daftar prolegnas berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden dan/atau DPD. Setelah menelusuri bukti-bukti, kubu dissenting tiba pada kesimpulan bahwa pembahasan Perubahan UU Minerba tidak memenuhi syarat sebagai RUU operan.

Pertanyaannya, apakah bila terdapat satu saja ketidaksesuaian pembahasan sebuah RUU dengan prosedur berarti RUU itu telah cacat secara formil sehingga dalam pemeriksaan uji formil-nya MK dapat mengabulkan permohonan? Kubu dissenting menanggapinya secara lugas, “iya”. Satu tahap atau satu standar saja tidak terpenuhi maka uji formilnya dikabulkan dan UU dapat dibatalkan secara keseluruhan. Mengutip pertimbangan majelis hakim kubu dissenting disebutkan bahwa, “… jikalau satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah undang-undang dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya. Artinya, cacat formil suatu undang-undang tidak perlu dibuktikan telah terjadi kecacatan dari semua tahapan atau kecacatan dari semua standar sepanjang kecacatan tersebut telah dapat dijelaskan dengan argumentasi dan bukti-bukti yang tidak diragukan sudah cukup untuk menyatakan adanya cacat formal pembentukan undang-undang.” (Putusan 60/PUU-XVIII/2021, para. [6.3])

Tersirat, kubu dissenting mengadopsi prinsip dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) terkait dengan asas due process of law. Prinsip ini diterapkan dalam proses legislasi, bahwa dalam membentuk UU prosesnya harus dilakukan secara tepat dan patut. Kubu dissenting meminjam istilah due process of law-making. Pandangan ini wajib menjadi wanti-wanti bagi Pembentuk UU dalam menjalankan proses pembentukan peraturan perundang-undangan dengan baik.

Namun demikian, pandangan ini belum mewakili pandangan MK secara keseluruhan. Pertimbangan mayoritas masih membisu mengenai pandangan ini. Seberapa besar toleransi yang bisa diberikan kepada pembentuk UU untuk dapat dikatakan bahwa pembahasan suatu RUU telah melanggar prosedur yang diukur secara konstitusional? Apakah mayoritas hakim bersepakat dengan pandangan kubu dissenting bahwa hanya dibutuhkan satu tahapan atau satu standar yang terlanggar sehingga stempel cacat formil dapat disematkan dalam proses pembentukan UU?

Pertanyaan-pertanyaan ini masih tersimpan dan belum terjawab. Meski demikian, jawabannya pun tidak akan memakan waktu lama. Sudah terpampang di depan mata pemeriksaan perkara uji formil UU Cipta Kerja. Putusan-putusan sebelumnya, dalam rangka uji formil UU KPK dan Perubahan UU Minerba, pantas untuk disebut sebagai laga-laga pemanasan untuk membangun dan mengembangkan hukum acara. Uji formil UU Cipta Kerja merupakan partai puncaknya. Seberapa ketat standar pengujian yang akan diterapkan majelis hakim dalam uji formil UU Cipta Kerja? Seberapa besar pengaruh pandangan kubu dissenting dalam Putusan uji formil UU Minerba akan mewarnai pertimbangan dalam uji formil UU Cipta Kerja?

Dalam konteks pengembangan hukum acara, perkara uji fromil yang diperika MK membuka kesempatan untuk membangun pemahaman yang menyeluruh mengenai hakikat pengujian UU, khususnya dalam pengujian formil. Terlepas dari hasil akhir yang menjadi amar putusan MK, apapun putusan yang akan dijatuhkan selama diimbangi dengan penalaran hukum yang kuat dan penjelasan berdasarkan argumentasi yang baik maka publik maupun pembentuk UU akan dapat dipastikan untuk selalu berada dibelakang MK. Sebab yang dituntut dari pengadilan bukan hanya kesimpulan akhir, tetapi juga alasan-alasan yang mendasarinya. Inilah hakikat pengadilan sebagai lembaga yang memberi narasi dan wacana (deliberative institution).

*)Bisariyadi adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait