Quo Vadis RUU Advokat, Multi Bar atau Single Bar?
Kolom

Quo Vadis RUU Advokat, Multi Bar atau Single Bar?

Apakah benar RUU Advokat ini memang dirancang untuk melindungi kepentingan advokat dan masyarakat pencari keadilan atau hanya merupakan implementasi dari kepentingan golongan tertentu?

Bacaan 2 Menit

Salah satu bukti dari lemahnya organisasi advokat saat ini adalah kedudukan advokat yang masih kurang diperhitungkan kesejajarannya dengan penegak hukum lainnya (polisi, jaksa, dan hakim). Meskipun menurut advokat senior Frans Hendra Winarta, advokat tidak dapat dikatakan sebagai penegak hukum, melainkan suatu profesi hukum, penulis berpendapat advokat harus dianggap setara dengan penegak hukum lainnya.

Fakta di lapangan menunjukkan, saat ini banyak advokat yang dilaporkan secara pidana atau digugat ketika sedang menjalankan profesinya secara sah dan tidak diizinkannya advokat untuk mendampingi kliennya sebagai saksi oleh lembaga penegak hukum, misalnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain itu, konsep DAN dalam Pasal 43 RUU Advokat dikhawatirkan sarat dengan potensi untuk dapat diintervensi. Dalam rancangan tersebut telah diatur bahwa Anggota DAN dipilih oleh DPR berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden. Padahal, DAN mempunyai salah satu kewenangan yang sangat krusial yaitu untuk memeriksa pelanggaran kode etik advokat di tingkat banding, sehingga independensinya patut untuk diragukan, misalnya dalam hal adanya kontrol advokat terhadap jalannya pemerintahan.

Akhir kata, penulis berpendapat bahwa RUU Advokat ini masih perlu dikaji ulang lagi secara mendalam baik dari segi yuridis, sosiologis dan filosofis. Apakah benar RUU Advokat ini memang dirancang untuk melindungi kepentingan advokat dan masyarakat pencari keadilan atau hanya merupakan implementasi dari kepentingan golongan tertentu.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah menyelaraskan RUU Advokat dengan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang seharusnya dapat lebih diprioritaskan pengesahannya. Untuk mengakhiri polemik ini, maka menurut hemat penulis, sebaiknya nama organisasi advokat dapat ditentukan secara tegas dalam undang-undang, serta dibebaskan dari potensial intervensi lembaga yudikatif, legislatif dan eksekutif.

Last but not least, dengan tulus dan tanpa bermaksud menggurui, PERADI sebagai salah satu wadah tunggal yang saat ini masih diakui oleh MK dan Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004dan surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010, diharapkan dapat lebih menampung aspirasi para advokat dan para calon advokat, transparan, komunikatif, membuka kesempatan anggota untuk menjadi pengurus bukan karena kedekatan personal, serta bukan hanya sekadar menjadi tempat registrasi ulang advokat setiap 2 tahun sekali, akan tetapi dapat menjadi organisasi yang dapat mengayomi dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan anggotanya. Bersatulah Advokat Indonesia !

Fiat justitia ne pereat  mundus (tegakkanlah keadilan agar dunia tidak runtuh)

*Penulis adalah advokat dan pengajar jurusan hukum bisnis pada Universitas Bina Nusantara.
**Tulisan ini sama sekali tidak mewakili kepentingan PERADI atau pihak manapun juga, penulis juga tidak menjabat sebagai pengurus organisasi advokat tertentu.

Tags:

Berita Terkait