Rambu-Rambu Hukum yang Harus Ditaati Pelaku Usaha dalam Menjalankan Bisnis
Terbaru

Rambu-Rambu Hukum yang Harus Ditaati Pelaku Usaha dalam Menjalankan Bisnis

Ada sejumlah ketentuan yang wajib diperhatikan pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya agar tetap sesuai koridor hukum.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 8 Menit

Meskipun telah disediakan sarana konsultasi, tercatat hanya ada 5 pemberitahuan yang dicatatkan sebagai konsultasi, atau jika dipersentasekan, hanya sebesar 3% dari total notifikasi yang diterima KPPU.

Dua Dekade UU 5/1999, Masihkah Relevan?

Tercatat, sejak pertama kali diundangkan, ketentuan dalam UU 5/1999 baru pertama kali mengalami perubahan pada saat UU Cipta Kerja diundangkan. Sebelumnya, sudah banyak pihak yang mengadvokasikan perubahan UU 5/1999 ini, bahkan RUU Perubahan UU 5/1999 pernah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010-2015 dan 2015-2020.

Upaya perubahan UU 5/1999 bukan tanpa alasan. Dikutip dari Ini Beberapa Usulan Perubahan UU Anti Praktik Monopoli, perubahan UU 5/1999 disebabkan banyaknya masalah yang timbul di dalam praktik, di antaranya mengenai definisi pelaku usaha, notifikasi merger, dan pemberian sanksi yang tumpang tindih. Selain itu, banyak transaksi di luar Indonesia yang berdampak besar pada Indonesia, sehingga di dalam definisi pelaku usaha harus dimasukkan asas ekstrateritorial.

Senada dengan hal tersebut, Farid yang sebelumnya pernah berkarir di KPPU kemudian menambahkan, perubahan UU 5/1999 diharapkan berfokus pada perubahan teknis, tata bahasa, serta konsep anti persaingan usaha agar ketentuan dalam UU 5/1999 bisa benar-benar sesuai dengan teori hukum dan ekonomi yang ada. “Padahal, jika ditelisik dari sisi keilmuan, sebenarnya konsep anti persaingan usaha diambil dari norma ekonomi yang kemudian dituangkan ke dalam norma hukum. Tapi, kenyataannya, UU anti-persaingan usaha di Indonesia (UU 5/1999) belum sesuai secara teori dan konsepsinya lebih sulit.”

Farid mencontohkan, misalnya penggunaan istilah monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni untuk menyebut perbuatan yang dilarang dalam UU 5/1999 tidak tepat karena istilah tersebut merujuk pada struktur pasar. Seharusnya, yang diatur UU adalah perbuatan pelaku usaha di struktur pasar tersebut yang dianggap melanggar hukum. Selain itu, ada pula istilah dalam UU 5/1999 yang definisinya sudah benar, tapi secara teknis tidak bisa dijalankan, serta konsep post-closing yang digunakan dalam notifikasi merger, akuisisi, dan/atau konsolidasi yang dianggap belum sesuai best practice.

Sayangnya, meskipun UU 5/1999 pada akhirnya berhasil direvisi melalui UU Cipta Kerja, namun poin-poin perubahan yang diatur dirasa belum mengakomodir kebutuhan hukum pelaku usaha. Secara garis besar, UU Cipta Kerja hanya merubah penyelesaian keberatan terhadap putusan KPPU serta sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar, tetapi sama sekali tidak menyentuh konsepsi larangan persaingan usaha yang dianggap belum sesuai, baik secara teori keilmuan maupun teknis pelaksanaan.

Hukumonline.com

Tabel 7. : Ketentuan dalam UU 5/1999 yang diubah oleh UU Cipta Kerja

Upaya pemerintah yang menyediakan seperangkat aturan yang memudahkan masyarakat, khususnya pelaku usaha mikro dan kecil untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya melalui UU Cipta Kerja memang patut diacungi jempol. Tentunya, akan jauh lebih baik jika pemerintah juga mengakomodasi peraturan perundang-undangan yang mudah dipahami, sesuai dengan teori keilmuan yang ada serta best practice yang berlaku, ramah bagi pelaku usaha, dan tetap relevan dengan perkembangan iklim usaha yang ada saat ini. Sebab, lapangan kerja tak hanya cukup diciptakan, tapi juga perlu perangkat hukum yang baik agar lapangan kerja yang diciptakan dapat terus berkembang dan berkelanjutan.

Catatan:

Tim Publikasi Hukumonline telah melakukan wawancara dengan Farid Fauzi Nasution, praktisi hukum persaingan usaha sekaligus partner di Assegaf, Hamzah, and Partners (AHP) Law Firm, via telepon pada Senin, 26 Juli 2021 pukul 13.00 WIB.

Tags: