Refleksi dan Proyeksi Pemberantasan Korupsi Tahun Mendatang
Kolom

Refleksi dan Proyeksi Pemberantasan Korupsi Tahun Mendatang

Refleksi dan proyeksi permasalahan dalam tulisan ini mestinya dijawab dengan langkah pembenahan yang konkret oleh pemerintah dan DPR.

Bacaan 4 Menit

Sedangkan KPK, sekalipun ada penangkapan “Mafia Peradilan Mahkamah Agung”, akan tetapi citra buruk kelembagaannya belum membaik. Ragam kontroversi masih terus diperlihatkan oleh lembaga yang dipimpin oleh Firli Bahuri ini. Puncaknya ketika salah satu komisioner, Lili Pintauli Siregar, hengkang dari KPK karena terbukti melanggar kode etik yang mengarah pada pelanggaran pidana. Penting untuk disampaikan, konsekuensi perubahan regulasi KPK telah meletakkan lembaga antirasuah itu di bawah kekuasaan eksekutif. Atas dasar itu, Presiden memiliki tanggung jawab penuh untuk memastikan kinerja KPK efektif, bukan malah membiarkannya larut dengan kontroversi begitu saja. 

Berpindah pada isu aturan hukum, produk politik yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR tersebut menciptakan rasa pesimis di tengah masyarakat soal pemberantasan korupsi. Dua undang-undang pemicunya adalah Pemasyarakatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Implikasi buruknya nyata, puluhan koruptor, termasuk Pinangki Sirna Malasari, mendapat kemudahan berupa remisi yang diobral. Seperti dipahami, UU Pemasyarakatan berhasil mengubah tindak pidana korupsi menjadi kejahatan biasa karena syarat memperoleh remisi yang diatur secara ketat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dihapus. Pada masa mendatang, masyarakat akan sering melihat pelaku korupsi dapat dengan mudah melenggang bebas dari masa pemidanaan di lembaga pemasyarakatan. 

Selain menyempitnya ruang demokrasi dan hak asasi manusia, problematika korupsi juga tak kalah berbahaya dengan adanya pengundangan KUHP. Betapa tidak, hampir sebagian besar hukuman yang ditujukan kepada pelaku korupsi menurun drastis. Padahal, dengan regulasi yang eksis saat ini, yaitu UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman koruptor masih terbilang ringan. Jadi, bisa dibayangkan, KUHP baru pasti akan disambut baik, bahkan riang gembira, oleh pelaku korupsi karena sanksi penjara diturunkan tanpa disertai argumentasi yang utuh. 

Dukungan berupa aturan yang memastikan pesta demokrasi terbebas dari pelaku korupsi juga gagal dihasilkan oleh pembentuk undang-undang. Polemik rutin lima tahun sekali terkait diperbolehkannya mantan terpidana korupsi maju dalam kontestasi politik justru diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Dari sini semakin terlihat bahwa pemerintah dan DPR tidak serius dalam memanfaatkan kewenangannya untuk berkontribusi terhadap isu pemberantasan korupsi. 

Proyeksi pemberantasan korupsi tahun mendatang juga menarik untuk diulas lebih lanjut. Dengan langgam pemerintah dan DPR yang enggan menaruh perhatian lebih untuk membenahi isu korupsi, sepertinya penguatan melalui regulasi tak banyak disentuh. Alasannya pun sudah bisa ditebak, fokus pembentuk undang-undang diyakini bukan membenahi hukum, melainkan konsolidasi politik jelang pemilihan umum tahun 2024. Padahal, dengan mengundangkan RUU Perampasan Aset, aparat penegak hukum dapat lebih mudah merampas aset hasil kejahatan yang selama ini banyak disembunyikan oleh pelaku. 

Bukan cuma itu, pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal juga diyakini mangkrak. Penting diperhatikan, satu praktik kecurangan yang kerap terjadi dalam masa pemilu adalah penggunaan politik uang untuk mendulang suara masyarakat. Atas dasar itu, bukan tidak mungkin politisi-politisi akan menghambat laju pembahasan regulasi tersebut. Sebab, jika diundangkan, maka praktik politik uang yang lazimnya menggunakan pembayaran tunai dengan jumlah besar akan sulit dilakukan. 

Tahun mendatang, korupsi politik pun diyakini akan marak terjadi jelang pemilu tahun 2024. Polanya sudah terbentuk, yakni pemanfaatan jabatan publik untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya guna membiayai kampanye politik. Maka dari itu, upaya penegak hukum beserta pengawas pemilu, seperti Bawaslu, amat dibutuhkan. Berdasarkan data KPK, praktik korupsi politik mendominasi perkara di lembaga antirasuah itu. Dari total 1.443 perkara dalam rentang waktu 2004 sampai 2022, 496 diantaranya dilakukan aktor politik, baik anggota legislatif maupun kepala daerah. Ini menunjukkan korupsi dalam sektor politik kian mengkhawatirkan. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait