Korupsi Yudisial Begitu Mengakar di Indonesia Tetapi Tidak Berhasil Diberantas
Kolom

Korupsi Yudisial Begitu Mengakar di Indonesia Tetapi Tidak Berhasil Diberantas

Hakim tidak boleh terjebak dalam beberapa larangan, seperti kolusi dengan para pihak dalam suatu perkara yang diperiksanya, apalagi menerima bingkisan atau pemberian atau janji dari pihak yang berperkara.

Bacaan 5 Menit
Frans H Winarta. Foto: Istimewa
Frans H Winarta. Foto: Istimewa

Setelah 20 tahun lebih International Bar Association (IBA) mendeklarasikan korupsi yudisial di Amsterdam dalam Biennial Conferencenya di Amsterdam tahun 2000. Praktik korupsi yudisial tetap saja berlanjut terutama di negara-negara berkembang. Semula sebelum IBA mendeklarasikan judicial corruption di Amsterdam, sekitar 20 lawyer dan jurist dunia sudah berkumpul di International Commission of Jurists untuk mendefinisikan judicial corruption yang kemudian diadopsi oleh IBA di Amsterdam tahun 2000. Tetapi setelah 20 tahun deklarasi ini berjalan, dunia masih diliputi oleh korupsi yudisial yang menggerogoti dunia terutama dalam sistem hukum negara-negara tertentu termasuk Indonesia.

Upaya untuk mensosialisasikan etika hakim, jaksa dan polisi sudah seringkali dilakukan. Akan tetapi organisasi para advokat justru terpecah belah dan pengelolaan etika profesi advokat semakin terbengkalai dan berantakan. Etika profesi advokat, walaupun diajarkan di fakultas hukum dan pelatihan-pelatihan diadakan dalam pendidikan dan pelatihan advokat atau hukum acara seolah-olah tidak mempan dan terkesan percuma diadakan karena para peserta pendidikan hukum dan advokat sering kali mengabaikan etika profesi advokat sebagai embel-embel saja dan yang penting adalah bagaimana mencari uang sebanyak mungkin dan menjadi kaya. Ini mungkin karena pengaruh hedonisme, materialisme dan konsumerisme yang melanda dunia khususnya dunia perdagangan, bisnis, perbankan dan industri.

Kita masih ingat berbagai cara dan kursus serta pelatihan sudah diadakan untuk para penegak hukum seperti polisi dan jaksa serta para hakim tetapi perhatian mereka larut di dalam rutinitas pekerjaan sehari-hari dan tidak memperhatikan etika profesi di dalam menjajaki dunia profesinya seolah olah mendalami profesi itu omong kosong dan percuma saja. Semua usaha untuk memerangi korupsi percuma saja karena korupsi sudah mengakar dan perlu mengikutsertakan berbagai pihak dan elemen di masyarakat seperti pemerintah serta para penegak hukum, advokat dan hakim yang mau menciptakan pro good governance yang anti korupsi dalam arti yang sebenarnya dan seluas-luasnya tanpa itu rencana membersihkan good governance itu percuma saja dilakukan.

Baca juga:

Praktik-praktik jual beli perkara atau kasus sudah begitu mengakar seperti memperpanjang penahanan dan penangkapan sudah dijadikan objek, memperjualbelikan SP3 atau penghentian pemeriksaan perkara sudah menjadi barang dagangan atau komersial, memperjualbelikan penuntutan pidana dan semua cara untuk tumbuhnya KKN - korupsi, kolusi dan nepotisme. Tanpa upaya yang sungguh-sungguh pemerintah ini tidak akan bisa mengatasi krisis penegakan hukum ini.

Undangan untuk berinvestasi di Indonesia tidak akan berhasil kalau penegakan hukum rendah dan investor akan memilih negara lain untuk berinvestasi kalau tidak ada jaminan penegakan hukum dan kepastian hukum. Ini semua berimbas kepada berapa banyak perkara arbitrase yang memberikan solusi cepat dan internal tidak terbuka untuk publik dan diluar liputan media massa menjadi ukuran bagaimana sengketa bisnis dan perdagangan diselesaikan secara memuaskan dengan arbitrase perdagangan. Semua itu ada indikatornya dan ukurannya untuk para investor.

Korupsi yudisial ini tidak hanya dilakukan oleh para hakim tetapi juga para advokat, panitera, jaksa, polisi dan para pencari keadilan (Justitiabelen), tetapi juga oleh para banker dan pebisnis. Ketidakindependenan pengadilan menyebabkan korupsi yudisial semakin marak melalui jual beli putusan perkara.

Tags:

Berita Terkait