Refleksi Pengelolaan Izin Lingkungan
Kolom

Refleksi Pengelolaan Izin Lingkungan

Perizinan lingkungan dan kajian dokumen AMDAL harus didesain untuk melindungi lingkungan namun sekaligus tidak mengorbankan kepentingan ekonomi.

Bacaan 4 Menit
Refleksi Pengelolaan Izin Lingkungan
Hukumonline

Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (yang kini telah dicabut dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja), pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 (PP No. 22/2021) tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai aturan turunan dari klaster lingkungan pada UUCK. Dalam PP tersebut banyak pengelolaan (baca : penerbitan) izin lingkungan dan proses pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pada industri tertentu dan strategis akan dikelola oleh pemerintah pusat.

Seiring perkembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuat sistem pengurusan AMDAL melalui sistem elektronik yang dinamakan Amdalnet yang pada akhirnya setelah per akhir Desember 2022 ditemukan lebih dari 2000 permohonan izin lingkungan sektor investasi kehutanan. Hal ini berpotensi risiko tinggi dan sektor strategis terbengkalai, maka Presiden memberi arahan dalam rapat kabinet pada 6 Desember 2022 untuk menyederhanakan proses persetujuan lingkungan dalam memberikan kepastian investasi dan usaha di Indonesia.

Memang saat ini pengurusan dokumen AMDAL dan perizinan lingkungan merupakan salah satu perizinan yang memakan waktu yang paling lama. Kondisi tersebut disebabkan karena adanya tiga proses yang harus dilalui pemohon. Tahap pertama adalah berbagai dokumen kajian yang diakhiri dengan pembuatan beberapa dokumen arahan teknis seperti misalnya air, udara, emisi yang jika sudah sempurna akan disetujui pejabat setingkat direktur. Seandainya seluruh persyaratan kajian teknis telah sesuai, tidak ada koreksi lagi dan disetujui maka seluruh dokumen tersebut akan diunggah melalui sistem Amdalnet yang akunnya wajib dibuat pada saat awal permohonan.

Amdalnet ini akan membuat penapisan (penilaian) administratif dan teknis oleh tim teknis yang jika telah sesuai maka akan dilaksanakan ekspose kajian AMDAL untuk memperoleh perizinan lingkungan oleh KLHK. Umumnya ekspose dilakukan beberapa kali hingga ekspose menyetujui pemberian izin lingkungan bagi investor. Setelah disetujui oleh tim penilai dan tim ekspose maka akan masuk pada proses administratif pembuatan surat keputusan dan akan ditelaah mulai tingkat kepala seksi hingga sekretaris jenderal sebelum diparaf oleh menteri. Setelah menteri menyetujui maka proses akan masih berlanjut melalui proses online single submission (OSS) guna penerbitan izin lingkungan oleh menteri investasi.

Baca juga:

Tindak Lanjut

Melihat kenyataan bahwa pembuatan dokumen AMDAL dan penerbitan perizinan lingkungan memakan waktu yang panjang bahkan hingga bertahun-tahun maka dalam rapat kabinet presiden memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menyederhanakan pengurusan perizinan lingkungan mengingat persoalan perizinan merupakan kendala investasi yang sangat serius di Indonesia. Sesuai laporan world bank (2021), bahwa peringkat kemudahan berusaha di Indonesia stagnan dalam beberapa tahun terakhir dan yang menjadi penyebabnya adalah masalah perizinan, khususnya perizinan yang dianggap cukup rumit diperoleh investor.

Selanjutnya di penghujung tahun 2022, Menteri LHK menerbitkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1295/MENLHK/SETJEN/REN.0/12/2022 (SK 1295/MENLHK) Tentang Transisi Percepatan Proses Persetujuan Lingkungan Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Perizinan Berusaha tertanggal 27 Desember 2022. Pada hari yang sama ditindaklanjuti dengan keputusan menteri LHK Nomor SK.1296/MENLHK/SETJEN/REN.0/12/2022 (SK 1296/MENLHK) Tentang Satuan Tugas Transisi Percepatan Proses Persetujuan Lingkungan Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Perizinan Berusaha serta Surat Edaran Menteri LHK Nomor SE.7/MENLHK/SETJEN/REN.0/12/2022 Tentang Tata Laksana Percepatan Proses Persetujuan Lingkungan Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Perizinan Berusaha.

Ada tiga persoalan baru yang timbul terkait dengan dua Keputusan Menteri LHK beserta surat edaran tersebut yakni nampak bahwa Kementerian LHK menggunakan celah hukum yang ada pada Pasal 59 ayat (2) dan pada Pasal 79 ayat (4) PP No. 22/2021 bahwa Kementerian LHK dapat melakukan delegasi pada instansi di provinsi maupun kabupaten/kota. Persoalannya adalah pada SK 1295/MENLHK tidak memberi kewenangan yang sama pada setiap provinsi maupun kabupaten/kota. Misalnya Provinsi Kalimantan Tengah yang sarat dengan sektor usaha kehutanan, hasil alam, investasi dengan risiko tinggi dan proyek strategis dengan jumlah permohonan perizinan lingkungan yang besar tidak mendapatkan delegasi.

Kondisi tersebut akan memunculkan pertanyaan apa yang menjadi latar belakang pendelegasian wewenang dalam Pasal 59 ayat (2) dan pada Pasal 79 ayat (4) PP No. 22/2021 pada provinsi serta kabupaten/kota yang mendapatkan delegasi pada SK 1295/MENLHK. Ini artinya akan menimbulkan konsekuensi pada adanya perbedaan mekanisme pengurusan perizinan lingkungan pada masing masing investor (pengurusan tergantung pada apakah lokasi investasi termasuk dalam SK 1295/MENLHK).

Persoalan yang kedua adalah berkaitan dengan SK 1296/MENLHK terkait dengan satuan tugas, dalam hal ini risiko yang dapat terjadi adalah kemungkinan terjadinya business interruption mengingat dengan pembentukan dan tugas tim transisi maka akan berdampak pada kewenangan pejabat yang saat ini terlibat dalam penerbitan perizinan lingkungan. Risiko yang harus dimitigasi adalah agar tidak terhambatnya perizinan lingkungan yang saat ini sedang dimohonkan oleh investor.

Persoalan kedua tersebut perlu dilakukan mitigasi mengingat berkaca dari pengalaman sistem online single submission (OSS) yang menginterupsi perizinan yang sedang dimohonkan sehingga investor pada tahun 2018 dan 2019 harus mengulang kembali permohonan perizinan yang diajukan, namun pada faktanya perizinan berbasis online single submission (OSS) masih penuh masalah setelah empat tahun diluncurkan oleh pemerintah. Tentu saja jika dampak dari SK 1296/MENLHK adalah mengulangi peristiwa yang terjadi pada migrasi perizinan manual menuju berbasis online single submission (OSS) maka yang paling dirugikan dari kondisi ini adalah investor.

Persoalan ketiga, terkait dengan Surat Edaran Menteri LHK Nomor SE.7/MENLHK/SETJEN/REN.0/12/2022 terkait dengan aspek tata laksana. Jika pada tataran tata laksana di lapangan tidak mengurangi jumlah kegiatan kajian dan ekspose serta banyaknya tim penilai yang terlibat maka investor akan tetap berhadapan dengan labirin panjang pada pengurusan perizinan lingkungan. Idealnya penerbitan perizinan lingkungan harus mengacu pada doktrin green growth economy, sebagaimana diuraikan Fabozzi (2022), yakni “the basic idea of green growth is that technology will make sustainable growth possible without affecting economies”.

Artinya dalam hal ini bahwa perizinan lingkungan dan kajian dokumen AMDAL harus didesain untuk melindungi lingkungan namun sekaligus tidak mengorbankan kepentingan ekonomi, sehingga dalam hal ini pengurangan tahapan harus menjadi perhatian sekaligus perlu dilakukan peningkatan kualitas pada setiap tahapannya sehingga tidak diperlukan tahapan maupun ekspos serta kajian berulang.

*)Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., adalah Associate Professor bidang Hukum, Faculty Member International Business Law Universitas Prasetiya Mulya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait