Reformasi Hukum Kepailitan Indonesia: Kepailitan Tidak Didasarkan Pada Insolvency Test
Kolom

Reformasi Hukum Kepailitan Indonesia: Kepailitan Tidak Didasarkan Pada Insolvency Test

Pelaksanaan prinsip insolvency test sebagai dasar dari kepailitan, akan menggeser esensi kepastian hukum dari kewajiban debitor untuk melunasi utang ketika telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Bacaan 10 Menit
Ricardo Simanjuntak. Foto: Istimewa
Ricardo Simanjuntak. Foto: Istimewa

Insolvensi merupakan terminologi akuntansi yang menggambarkan permasalahan keuangan berat (severe financial distress) yang dialami oleh debitor, akibat dari kerugian berturut-turut (loss bleeding) ataupun kegagalan usaha, yang menggerus hartanya sehingga berjumlah lebih kecil dari utang-utangnya (debtor’s debts exceed its assets). Business Dictionary.Com mendefinisikan insolvency sebagai the situation whose liabilities of person or firm exceed its assets, artinya ketidakmampuan seorang debitor untuk melunasi utang-utangnya karena harta yang dimilikinya tidak lagi mencukupi untuk melunasi utang-utangnya.

Secara akuntansi, keadaan insolvent atau solvent hanyalah dapat dibuktikan berdasarkan laporan keuangan laba rugi (balance-sheet) milik debitor. Bila dihubungkan dengan Pasal 1865 KUH Perdata atau Pasal 163 HIR (Hukum Acara Perdata), kewajiban pembuktian apakah seorang debitor telah berada dalam keadaan insolvent dibebankan (burden of prove) pada pemohon pailit. Bila yang mengajukan permohonan pailit adalah debitor terhadap dirinya secara sukarela (voluntary self bankruptcy), kewajiban debitor membuktikan melalui laporan keuangannya akan mudah dipenuhi. Pertanyaannya, bagaimana bila yang mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitor adalah kreditornya? Apakah kreditor memiliki bukti laporan keuangan debitor yang akan akan dimohonkannya pailit?

Pada umumnya, para pelaku bisnis tidak mempersyaratkan untuk saling memegang ataupun memperoleh laporan keuangan dari mitra bisnisnya, apalagi sebagai perusahaan tertutup. Sehingga akan sangat sulit dan bahkan hampir tidak memungkinkan bagi pihak kreditor untuk dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitornya ketika kreditor tersebut tidak memiliki laporan keuangan terbaru dari debitornya. Bahkan pihak perbankan, yang dalam proses awal pemberian fasilitas kredit mampu memperoleh laporan keuangan dari debitornya, sering sekali kemudian tidak lagi mampu mendapatkan laporan keuangan terkini (up-to-date balance sheet) dari debitornya, ketika fasilitas pinjaman tersebut bersifat revolving dan debitor telah berada dalam status default.

Baca juga:

Dapat dibayangkan, bila pengajuan permohonan pernyataan pailit harus didasarkan pada prinsip insolvency test, maka akan tidak memungkinkan bagi kreditor untuk mendalilkan bahwa debitornya telah berada dalam keadaan insolvent bila kreditor tersebut tidak memiliki laporan keuangan (balance sheet) terkini dari debitornya. Walaupun Prof Dr. Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Indonesia” (1988) menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 163 HIR menganut asas pembagian beban pembuktian, praktik beracara yang berdalil bahwa hukum acara bersifat pasif seakan-akan menjadi dasar Pengadilan Niaga tidak mengharuskan debitor termohon pailit untuk mengajukan laporan keuangannya sebagai counter bukti bahwa debitor tersebut secara akuntansi masih solvent.

Tidak dibayarnya utang yang “telah jatuh tempo dan dapat ditagih” akan sangat mungkin mengakibatkan efek berantai (contagion effect) menularkan permasalahan keuangan juga terhadap kreditornya. Gagalnya kreditor memperoleh pelunasan piutang dari debitornya akan mengakibatkan kreditor tersebut juga tidak dapat melunasi utang yang telah dijanjikan kepada suppliernya. Efek berantainya, kreditor tersebut pun menjadi rentan untuk dimohonkan pailit oleh supliernya.

Secara teori, keadaan insolvensi tidak begitu saja dapat disimpulkan dari fakta laporan keuangan debitor walaupun telah menggambarkan bahwa utang debitor telah lebih besar dari hartanya. Banyak faktor yang menjadi dasar pertimbangan untuk belum menyimpulkan seorang debitor tersebut berada dalam keadaan insolvent. Misalnya, pada strategi berbisnis start-up companies, hartanya bahkan sering jauh lebih kecil dari utang-utangnya atas nilai pinjaman atau investasi mitranya yang terus dieksploitasi untuk penguatan pasar dalam mengejar future profit.

Tags:

Berita Terkait