Reglemen Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini
Mengupas Hukum Acara Perdata:

Reglemen Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini

Sudah lama keinginan membuat hukum acara perdata dalam Undang-Undang tersendiri. Tetapi mengganti warisan Belanda tak semudah membalik telapak tangan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia. Foto: RES

Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa, sudah hampir 170 tahun Reglemen Hukum Acara dalam pemeriksaan di muka pengadilan negeri itu berlaku. Khusus untuk pemeriksaan acara pidana memang sudah ada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Tetapi untuk hukum acara perdata, masih jauh panggang dari api.

Orang mungkin tak ingat lagi nama J.M Kiveron, pria Belanda yang membubuhkan tanda legalitas pada undang-undang itu. Sama halnya lupa terhadap nama Mr. HL Wichers dan JJ Rochussen. Mungkin tak banyak pula yang memperhatikan Menteri Kehakiman Wongsonegoro yang menetapkan Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Padahal nama-nama itu adalah orang-orang yang terkait dengan HIR, hukum acara perdata yang hingga kini masih berlaku di Indonesia.

Pasal 6 UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yang diteken Wongsonegoro tadi tegas menyebutkan ‘Reglemen Indonesia yang dibaharui seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman’. Lebih dari 66 tahun setelah Wet itu terbit, ternyata apa yang disebut Reglemen Indonesia yang dibaharui itu masih berlaku. Orang lebih mengenalnya sebagai HIR. Mr. R. Tresna, salah satu tokoh hukum Indonesia yang menerjemahkan dan memberi komentar atas Reglemen itu lebih senang menggunakan kata HIR. “Istilah HIR itu telah lebih dikenal dan sudah biasa digunakan orang’, tulisnya pada tarikh Oktober 1955.

Karya Mr Tresna, ‘Komentar HIR’ salah satu karya klasik yang secara komprehensif mengungkap kembali kepada generasi sekarang bagaimana hukum acara pengadilan negeri di Hindia Belanda disusun. Cerita lain dapat disimak dari karya Prof. Soepomo ‘Hukum Acara Pengadilan Negeri’ atau karya Hukum Acara Perdata  karya Prof. R. Subekti. Para ahli hukum itu mengungkapkan tanggal 1 Mei 1848 sebagai momentum penting dalam perjalanan sejarah hukum acara perdata di Indonesia. Pada tanggal itulah mulai berlaku Reglemen Bumiputera (Inlands Reglement), Staatblad Tahun 1848 No. 16.

Belanda sebenarnya membeda-bedakan hukum yang berlaku kepada golongan penduduk kala itu: Eropa dan yang dipermasakan, Timur Asing dan yang dipersamakan, serta orang bumiputera. Oleh karena hukum yang berlaku berbeda kepada golongan penduduk Hindia Belanda, maka pengadilan dan tata cara peradilannya juga berbeda. Bahkan dibedakan pula wilayahnya. Untuk Jawa dan Madura diberlakukan HIR, sedangkan di luar pulau itu berlaku Rechtsreglement Buitengewesten (RBg).

HIR adalah singkatan dari Herziene Indonesisch Reglement. Mr. H.L Wichers adalah orang penting di balik penyusunan Reglemen untuk hukum acara di muka pengadilan negeri ini. Sebagai Presiden Hooggerechtsshof, Wichers diminta bersama tim menyusun sebuah pedoman atau hukum acara yang berlaku di pengadilan Bumputera. Wichers dan tim menyelesaikan reglemen berisi 432 pasal mengenai ‘administrasi, polisi, dan proses perdata serta proses pidana’ bagi golongan Bumiputera.

Pasal yang memantik perdebatan saat itu adalah Pasal 432, yang kini dikenal sebagai Pasal 393 HIR. Ayat (1) pasal ini menyebutkan ‘dalam hal mengadili perkara  di hadapan Mahkamah Bumiputera tidak boleh diperhatikan peraturan lain atau yang melebihi daripada yang ditentukan dalam reglemen ini’. Ayat (2) memungkinkan pengecualian, yakni menggunakan peraturan yang berlaku bagi golongan Eropa dalam hal-hal tertentu. Gubernur Jenderal Rochussen menolak rumusan ayat (2) tersebut karena seharusnya hukum acara yang disusun harus lengkap. Pengecualian itu dia anggap menyimpang dari asas yang disebut pada ayat (1). Protes Gubernur Jenderal Rochussen diterima, sehingga rumusan yang terbaca dalam HIR sekarang sudah lain, dan tampak ada campur tangan Gubernur Jenderal.

Isi HIR

Sebenarnya, sejak pertama kali diberlakukan pada tahun 1848, Inlands Reglement sudah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan penting terjadi pada tahun 1926 dan 1941. Salah satunya mengenai revisi peraturan penuntutan terhadap orang-orang yang bukan bangsa Eropa; pemeriksaan persiapan dalam perkara pidana yang dilakukan Bumiputera dan Timur Asing. Staatsblad Tahun 1941 No. 32 menyebutkan keberlakuan Reglemen pada ayat (2), yaitu: “Reglemen Bumiputera, sebagaimana bunyinya sesudah diadakan perubahan-perubahan di dalam Ordonansi ini, akan berlaku di dalam wilayah hukum Landraad-Landraad yang dimaksud di atas, dapat disebut Herziene Inlandsh Reglement”. Salah satu yang membedakan IR dengan HIR adalah pembentukan lembaga Kejaksaan sebagai penuntut umum (Openbaar ministerie).

HIR yang dikenal sekarang dan dianalisi Mr. Tresna, berisi 394 pasal, adalah versi yang dimuat dalam Besluit Gubernur Jenderal No. 2, tertanggal 21 Februari 1941, dan dimuat dalam Staatblad Tahun 1941 No. 44. Terdiri dari 15 titel. Titel I mengenai hal melakukan pekerjaan polisi; disusul Titel II tentang mengusut kejahatan dan pelanggaran. Titel III sampai Titel VI bicara tentangkepala distrik, kepala jaksa dan jaksa; bupati dan patih; serta residen dan asisten residen.

Titel VII mengenai pengadilan distrik; Titel VIII tentang pengadilan kabupaten; disusul Titel IX mengenai perihal mengadili perkara sipil di pengadilan negeri; dan mengadili kejahatan di muka pengadilan negeri dalam Titel X. Selanjutnya, Titel XI mengenai perkara sumir; Titel XII mengenai mengadili perkara pelanggaran. Tahanan sementara dan kurungan sementara diatur dalam Titel XIII; sedangkan tentang hal tiada berlaku lagi, berhenti atau terhapus penuntutan dan hukuman diatur pada Titel XIV. Terakhir, Titel XV mengatur peraturan rupa-rupa.

Baca juga:

· Apa Kabar Perubahan Hukum Acara Perdata Nasional?

· Pergeseran Asas ‘Hakim Bersifat Pasif’ dalam Hukum Acara Perdata.

· Perbedaan HIR dan RBg.

Nasibmu Kini

Tentu saja, sudah banyak rumusan HIR yang tak sesuai dengan kondisi kekinian. Indonesia sudah memiliki UU No. 8 Tahun 1981, sebuah pedoman penyelesaian perkara mulai dari penyelidikan dan proses di pengadilan hingga upaya hukum luar biasa dan eksekusi putusan pidana. Sayang, tidak demikian halnya dengan hukum acara dalam lapangan hukum perdata.

Padahal, sejak Indonesia para pembentuk Undang-Undang dan para jurists sebenarnya menginginkan adanya suatu hukum acara perdata nasional. Semangat itu pula yang bisa dibaca dari rumusan Pasal 68 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pasal ini menyebutkan ‘Ketentuan-ketentuan mengenai hukum acara yang berlaku bagi peradilan diatur dengan Undang-Undang tersendiri. Toh, hingga kini Undang-Undang tersendiri yang dimaksud belum ada.

Apatah lagi kini, Mahkamah Agung sudah lama menganut pandangan bahwa suatu perkara perdata bisa diselesaikan di luar pengadilan. Pasal 58 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tegas mengatur ‘upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa’. Bahkan ketika perkara sudah diregistrasi dan mulai disidangkan, hakim wajib meminta para pihak bersengketa untuk melakukan mediasi. Mahkamah Agung mengatur tata cara mediasi itu melalui Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Mediasi di Pengadilan.

Dengan kata lain, hukum acara perdata telah berkembang dalam praktek. Dan rumusan-rumusan dalam HIR sudah banyak yang tak sesuai dengan perundang-undangan di bidang peradilan, setidaknya telah tersebar dalam perundang-undangan lain.Apalagi lapangan hukum yang memakai hukum acara perdata semakin berkembang. Tengok saja di peradilan agama, Pengadilan Hubungan Industrian, bahkan sengketa informasi.

Tags:

Berita Terkait