Rekayasa Kasus Brigadir J, YLBHI: Momentum Dorong Reformasi Polri Lebih Serius
Terbaru

Rekayasa Kasus Brigadir J, YLBHI: Momentum Dorong Reformasi Polri Lebih Serius

Rekayasa kasus pidana bukan kali ini saja terjadi. Pola rekayasa ini dilatarbelakangi adanya serangkaian tindakan kekerasan, penyiksaan, sampai pembunuhan di luar proses hukum (extra judicial killing).

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kasus penembakan yang dialami Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J mulai menemukan titik terang setelah tim khusus Mabes Polri menetapkan sejumlah tersangka mulai dari level Bharada sampai Perwira. Bahkan, rekayasa kasus berhasil dibongkar yang tadinya disebut sebagai peristiwa tembak menembak antar anggota Polri, tapi sekarang menjadi kasus pembunuhan.

Kasus ini menyita perhatian publik yang besar dan mendapat perhatian serius dari Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani serta beberapa Menteri seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mengingatkan rekayasa kasus pidana bukan kali ini saja terjadi. Pola rekayasa ini dilatarbelakangi adanya serangkaian tindakan kekerasan, penyiksaan, sampai pembunuhan di luar proses hukum (extra judicial killing).

Baca Juga:

Sekalipun Indonesia telah meratifikasi Kovenan Anti Penyiksaan melalui UU No.5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan, tapi ironisnya beleid itu belum menjadi rujukan atqas terjadinya tindak penyiksaan. “Sudah 24 tahun berlakunya UU ini, namun peristiwa penyiksaan terus berulang dan belum ada mekanisme pencegahan yang efektif,” kata Isnur saat dikonfirmasi, Senin (15/8/2022).

Periode 2019-2021, LBH-YLBHI mencatat ada 102 kasus kekerasan dan penyiksaan dengan jumlah korban mencapai 1.088 orang. Mayoritas kasus ditangani langsung LBH-YLBHI. Dari berbagai kasus itu terungkap penyiksaan dilakukan anggota Polri saat proses BAP, penyelidikan dan penyidikan, dalam tahanan, dan sebagian diantaranya korban salah tangkap. Bahkan berujung kematian atau pembunuhan di luar proses hukum. Sebagian lain diduga kuat menjadi korban penjebakan kasus kepemilikan narkotika.

Perilaku aparat kepolisian itu kerap dibenarkan dengan dalih diskresi, atau untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian subjektif. Hal tersebut memicu terjadinya pengkondisian untuk mengaburkan fakta pada peristiwa. Selain itu “arogansi institusi” dan “solidaritas angkatan” membuat sesama anggota Polri saling menutupi kesalahan dan melindungi.

“Sehingga sangat sedikit kasus-kasus kekerasan aparat kepolisian yang dapat dituntaskan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku,” bebernya.

Tags:

Berita Terkait