Rekomendasi KNHTN ke-6 untuk Presiden, Salah Satunya Terkait Syarat Menteri
Utama

Rekomendasi KNHTN ke-6 untuk Presiden, Salah Satunya Terkait Syarat Menteri

Khusus keberadaan menteri koordinator, Konferensi memandang perlu ditinjau kembali efektifitasnya. Secara konstitusional, tidak ada keharusan bagi presiden untuk tetap mempertahakan kementerian koordinator.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Indonesia yang menganut sistem presidensial dengan jumlah partai politik yang banyak, kemudian dipadukan dengan model pemilihan presiden yang mendorong pembentukan koalisi, menyebabkan hak prerogatif presiden untuk membentuk kabinet tidak dapat diterapkan secara sederhana. Selain itu, ada beberapa hal dalam praktik ketatanegaraan yang perlu didiskusikan untuk dapat menghasilkan kabinet yang lebih efektif.

 

(Baca: Pentingnya Membentuk Manajemen Koalisi dalam Kabinet Presidensial)

 

Untuk itu menurut konferensi, harus ada posisi tawar antara presiden dengan partai politik daam penyusunan kabinet. Konferensi mengusulkan sejumlah syarat untuk menjadi Menteri. Pertama, untuk menjadi Menteri syaratnya mutatis mutandis dengan syarat untuk menjadi presiden.

 

Kemudian melalui mekanisme fit and proper test, dengan melihat rekam jejak. Selain itu dengan menambahkan syarat keahlian terkait bagi seorang menteri dengan bidang yang akan jadi tugas dan fungsinya. Seorang Menteri juga diharapkan memiliki kemampuan pemahaman tentang administrasi negara; memiliki kapabilitas, integritas, akseptabilitas; serta memiliki kemampuan sebagai penghubung dalam birokrasi, standarisasi proses kerja dan output, juga membangun budaya organisasi.

 

Menjelaskan terkait mekanisme fit and proper test, Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, Bayu Dwi Anggono, menyebutkan fit and proper test yang nanti dijalankan bisa dengan jalan mengulang pengalaman ketika penataan kabinet Jokowi pada periode pertama.

 

“Persiden pernah meminta KPK untuk menilai nama-nama calon Menteri yang ada,” ujar Bayu.

 

Selanjutnya, konferensi menilai UU Kementerian Negara dan praktik ketatanegaraan yang menimbulkan adanya koalisi, ternyata sangat membatasi hak prerogatif presiden dalam penentuan kabinet karena presiden harus memperhitungkan secara politik, posisi partai-partai politik dalam pemerintahan. Padahal di sisi lain, ada keinginan kuat untuk memiliki kabinet yang lebih profesional.

 

Karenanya, penting untuk membatasi jumlah menteri yang berasal dari partai politik. Sehubungan dengan itu, hak prerogatif presiden harus dimaknai secara mutlak pada kriteria atau kualifikasi menteri. Meski partai politik bisa saja menawarkan kader-kader ataupun profesional yang terafiliasi dengan partainya untuk menduduki jabatan menteri, namun kriteria itulah yang harus menjadi ukuran pemilihan, maupun evaluasi menteri, oleh presiden.

 

Selain itu, perlu dipikirkan adanya pembatasan yang jelas tentang jabatan menteri mana saja yang harus professional atau boleh dimasuki parpol. Menteri yang masuk dalam kategori konstitusional sebagai trium virat, yaitu menteri luar negeri, menteri dalam negeri, menteri pertahanan, harus diduduki oleh orang-orang yang profesional. Begitu juga dengan menteri-menteri lainnya, yang mensyaratkan keahlian ataupun pengalaman yang khusus.

Tags:

Berita Terkait