Rekomendasi Komnas HAM untuk Kasus Mutilasi 4 Warga Mimika Papua
Terbaru

Rekomendasi Komnas HAM untuk Kasus Mutilasi 4 Warga Mimika Papua

Salah satunya, Komnas HAM meminta persidangan dilakukan secara independen dan imparsial sesuai prinsip persidangan adil (fair trial).

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Keempat, Komnas HAM meminta LPSK untuk memberikan perlindungan serta pemulihan bagi keluarga para korban. Kelima, Komnas HAM mengimbau kepada masyarakat untuk mendukung kelancaran proses persidangan agar proses persidangan dapat berjalan dengan baik. Keenam, Komnas HAM RI mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan informasi dan keterangan yang dibutuhkan dalam proses pemantauan ini.

Sebelumnya, Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari KontraS, PAHAM, LBH Papua, dan ALDP yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM mengecam proses persidangan itu karena dijalankan secara serampangan. Wakil Koordinator II KontraS, Rivanlee Anandar, mengatakan dalam kasus tersebut, sebanyak 10 orang telah ditetapkan sebagai tersangka, 6 diantaranya prajurit tentara aktif dari kesatuan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/Ima Jaya Keramo Kostrad.

Rivanlee menyebut koalisi mencatat beberapa hal terkait proses persidangan tersebut. Misalnya, proses persidangan tidak akuntabel dan transparan. Proses hukum para terdakwa dari militer dan sipil diadili secara terpisah. Terdakwa militer yakni Kapten (Inf) Dominggus Kainama, Prajurit Satu (Pratu) Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktav Muliawan, dan Prajurit Kepala Pargo Rumbouw diadili melalui Pengadilan Militer III-19 Jayapura, Papua. Sedangkan, Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi diadili melalui Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur. Sedangkan para tersangka sipil berkas perkaranya masih belum dilimpahkan ke pengadilan umum.

Rivanlee menilai terpisahnya upaya menuntut pertanggungjawaban pidana, tidak hanya bermasalah secara teknis, juga tidak bersesuaian dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara teknis, terpisahnya proses peradilan sangat tidak efisien secara waktu dan biaya khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi.

Keluarga korban berdomisili di Timika, ketika diperiksa sebagai saksi dalam perkara para terdakwa militer membuat keluarga harus terbang ke Pengadilan Militer III-19 Jayapura menggunakan transportasi udara yang biayanya tidak murah. “Proses peradilan tersebut sejatinya telah menjauhkan aksesibilitas keluarga korban yang berdomisili di Timika terhadap proses peradilan,” kata Rivanlee saat dikonfirmasi, Rabu (18/01/2023).

Mengacu Pasal 16 UU No.48 Tahun 2009, seharusnya tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama yang termasuk lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum. Apalagi pihak yang paling dirugikan dalam perkara ini adalah kalangan sipil. Sehingga tidak ada alasan persidangan dilakukan terpisah, tapi harus dilakukan di peradilan umum. Hal itu diperparah oleh absennya kepastian informasi yang diterima koalisi terkait pelaksanaan sidang di peradilan militer.

Atnike juga menyebut pengadilan militer sudah memutus salah satu perkara. Namun sampai berita ini diterbitkan, Komnas HAM belum bisa memberi penjelasan lebih lanjut. Dari penelusuran Hukumonline, perkara yang telah diputus majelis hakim di Pengadilan Militer Jayapura yakni nomor perkara 37-K/PMT.III/AD/XII/2022 dengan terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki. Dari pemberitaan sejumlah media majelis hakim menjatuhkan pidana seumur hidup dan pemecatan dari dinas militer.

Sebelumnya, kalangan masyarakat sipil mengkritik tuntutan yang disampaikan Oditur Militer dalam proses peradilan militer yang menyidangkan 6 terdakwa prajurit TNI aktif dalam kasus pembunuhan dan mutilasi tersebut. Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar, mengatakan Mayor Helmanto Fransiskus Daki mendapuk pangkat tertinggi yakni Mayor. Tapi dia hanya dituntut 4 tahun penjara karena melakukan penadahan sebagaimana disebut dalam dakwaan primer.

Tuntutan itu menurut Rivanlee tidak mewakili kepentingan para keluarga korban dan masyarakat Papua. Peristiwa keji berupa kekerasan terjadi di Papua yang dilakukan oleh aparat militer selalu berakhir dengan penjatuhan hukuman yang ringan. “Kami melihat bahwa conflict of interest begitu kental tercium dan kecenderungan peradilan militer melindungi para pelaku,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait