Respons Putusan PHPU Pilpres, YLBHI Sebut MK Jadi Alat Legitimasi Pembusukan Demokrasi
Melek Pemilu 2024

Respons Putusan PHPU Pilpres, YLBHI Sebut MK Jadi Alat Legitimasi Pembusukan Demokrasi

YLBHI melihat MK secara kelembagaan sudah kehilangan marwah dan independensinya untuk memutus kasus kasus yang beririsan kuat dengan kepentingan politik pemerintah berkuasa sejak adanya intervensi melalui revisi UU MK bermasalah.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Suasana sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Senin (22/4). Foto: HFW
Suasana sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, Senin (22/4). Foto: HFW

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak seluruh permohonan sengketa PHPU yang diajukan oleh Capres-Cawapres 01 Anies Baswedan dan Capres-Cawapres 02 Ganjar Pranowo-Mahfud MD. MK menilai permohonan keduanya ditolak lantaran seluruh dalil pemohon tidak terbukti di dalam persidangan. 

Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), putusan akhir MK terkait Pilpres (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) yang tidak  menemukan adanya fakta hukum kecurangan pemilu 2024 adalah bukti nyata kegagalan MK sebagai penjaga kedaulatan rakyat dan konstitusi.

Meskipun terdapat dissenting Opinion tiga hakim MK yang pada pokoknya menegaskan bahwa telah terjadi kecurangan pemilu secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM), putusan akhir menunjukkan bahwa MK hari ini  tidak lebih dari  Mahkamah Kekuasaan yang bertugas melegitimasi kepentingan kepentingan kekuasaan dan dinasti politik keluarga.   

YLBHI menyampaikan beberapa argumentasi terkait penilaian tersebut. Pertama, jika melihat kembali ke belakang terkait dengan  komposisi hakim MK yang menjabat dan track record putusan MK dalam memutus Pengujian Undang-Undang bermasalah  beberapa waktu terakhir seperti UU KPK, UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, termasuk Skandal Putusan MK terkait batas usia Cawapres dalam UU Pemilu yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka (anak sulung Presiden Jokowi) sebagai calon Wakil Presiden. 

Baca juga:

YLBHI sudah menduga putusan MK dalam PHPU kali ini hanya akan berujung pada putusan yang meligitimasi praktik politik dan pemilu culas yang berlangsung dengan  mengabaikan prinsip demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia. 

"YLBHI melihat MK secara kelembagaan sudah kehilangan marwah dan independensinya untuk memutus kasus kasus yang beririsan kuat dengan kepentingan politik pemerintah berkuasa sejak adanya intervensi melalui revisi UU MK bermasalah, praktik busuk manipulasi putusan syarat umur wakil presiden oleh ketua MK Anwar Usman dan praktik reccal dan penggantian hakim MK  secara ilegal oleh DPR RI," kata Wakil Ketua Bidang Advokasi, Arif Maulana, Senin (22/4). 

Kedua, persidangan MK untuk sengketa Pilpres dengan mekanisme speedy trial  memiliki waktu terbatas untuk pembuktian sehingga menyulitkan pembuktian secara menyeluruh dan nampak dalam prosesnya  tidak dimaksimalkan para Hakim MK untuk secara aktif mencari dan menemukan bukti materiil. Hal ini membuat persidangan sengketa pilpres tidak lebih dari sekedar formalitas  dan dinilai hanya sandiwara hukum untuk menghapus jejak-jejak fakta kecurangan pemilu. 

Ketiga, akhirnya dalam pertimbangan hukum putusannya, mayoritas hakim MK menutup mata  terkait dengan fakta material yang kasat mata seperti tidak netralnya Presiden sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, pelibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara negara di sejumlah daerah untuk pemenangan salah satu calon, maupun penyaluran dana bantuan sosial sebagai alat pemenangan salah satu peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

YLBHI juga menyoroti berbagai fakta hukum substansial ketidakadilan dalam proses pemilu tidak diakui dengan alasan hukum normatif positivistik seperti sudah diproses Lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu sesuai kewenangannya seperti  Bawaslu dan DKPP serta beralasan tidak cukup teryakinkan adanya kecurangan dengan dalih formil karena kurang bukti. 

"Merujuk pada hal diatas, YLBHI melihat  pentingnya mendudukkan kembali Mahkamah Konstitusi sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjaga demokrasi dan konstitusi bukan seperti hari ini malah menjadi Mahkamah stempel kekuasaan otoriter yang bersembunyi dibalik hukum (undang undang dan putusan pengadilan bermasalah)," tegas Arif. 

Tags:

Berita Terkait