Prinsip restorative justice adalah suatu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakukan kebijakan, namun pelaksanaannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia belum optimal.
Fokus keadilan restorative justice adalah pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.
Tujuannya adalah untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atau penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Baca Juga:
- Alasan Restorative Justice Tidak Bisa Dilaksanakan Dalam Kasus Kekerasan Seksual
- MengenalRestorative Justice
“Keuntungan pelaksanaan restorative justice memberikan pilihan pada korban tentang bagaimana pelanggaran mereka ditangani dan diantisipasi untuk menentukan hukuman, sehingga memulihkan rasa harga diri, keamanan, martabat, dan rasa kendali,” jelas Natalia Widiasih selaku Akademisi sekaligus spesialis Kesehatan Jiwa Konsultan Psikiatri Forensik pada diskusi yang dilakukan secara daring pada Senin (12/12).
Sebelum disahkannya UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), kasus kekerasan seksual seringkali hanya diselesaikan dengan proses mediasi antara korban dan pelaku. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan UU TPKS yang baru disahkan, di mana tindak pidana kekerasan seksual harus dilaksanakan di dalam pengadilan.
UU TPKS belum sepenuhnya dilaksanakan. Maka dari itu, Natalia menyebutkan ada empat periode dalam memastikan keamanan korban kekerasan seksual dalam restorative justice, yaitu: