Alasan Restorative Justice Tidak Bisa Dilaksanakan dalam Kasus Kekerasan Seksual
Terbaru

Alasan Restorative Justice Tidak Bisa Dilaksanakan dalam Kasus Kekerasan Seksual

Restorative justice tidak akan pernah bisa berjalan kalau salah satu pihak tidak menjalankannya dengan optimal, terlebih metode restorative justice akan bahaya dilakukan kepada korban PTSD, limitasi, dan korban anak.

Oleh:
Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Talkshow Benang Kusut Restorative Justice dalam Kasus Kekerasan Seksual. Foto: WIL
Talkshow Benang Kusut Restorative Justice dalam Kasus Kekerasan Seksual. Foto: WIL

Kekerasan seksual merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kekerasan berbasis gender. Kekerasan tersebut terjadi akibat adanya ketimpangan gender, sehingga ada anggapan yang mendorong seseorang bahwa kekerasan pantas dilakukan kepada korban.

Pasal 1 UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), menjelaskan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang itu karena tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik.

Saat ini perdamaian antara korban dan pelaku kekerasan seksual kerap dilakukan dengan pendekatan restorative justice. Pendekatan ini merupakan alternatif penyelesaian perkara pidana dengan mediasi mempertemukan korban dan pelaku serta pihak keluarga dengan berfokus pada pengembalian ke keadaan semula baik korban maupun pelaku.

Baca Juga:

Akademisi sekaligus spesialis Kesehatan Jiwa Konsultan Psikiatri Forensik, Natalia Widiasih mengungkapkan bahwa penerapan penyelesaian perkara menggunakan pendekatan metode restorative justice pada kasus kekerasan seksual hanya menambah trauma korban.

“Penerapan restorative justice pada korban kekerasan seksual hanya akan menambah trauma pada korban yang dihadapkan dengan pelaku,” ujar Natalia Widiasih pada diskusi yang dilakukan secara daring pada Senin (12/12).

Natalia mengungkapkan restorative justice dapat dijalankan apabila pendekatan yang dilakukan berorientasi pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh kejahatan konflik dan pelanggaran lainnya dengan partisipasi korban.

Tags:

Berita Terkait