Revisi UU Terorisme dan Intelijen Perlu Dikaji Mendalam
Berita

Revisi UU Terorisme dan Intelijen Perlu Dikaji Mendalam

Mendagri menolak saran agar pemerintah menerbitkan Perppu sebagai jalan pintas.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Suasana penanganan teror bom. Foto: RES
Suasana penanganan teror bom. Foto: RES
Ledakan bom Sarinah beberapa hari lalu, menjadi perhatian berbagai kalangan di dalam maupun luar negeri. Aturan regulasi yang mengatur pemberantasan terorisme dan intelijen menjadi sorotan untuk dilakukan revisi. Namun sejatinya revisi tidak dilakukan secara tergesa-gesa dan serampangan, tetapi lebih mengedepankan kebutuhan logis di tengah masyarakat.

Ketua Badan Legislasi (Baleg), Supratman Andi Agtas, berpandangan merevisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara perlu pengkajian lebih mendalam. Meski Baleg belum menerima usulan revisi terhadap kedua UU tersebut, setidaknya ia memperingatkan agar pengusul mengkaji sekaligus membuat naskah akademik dan draf RUU.

Alat kelengkapan dewan yang dipimpinnya berencana mengundang Komisi I yang membidangi pertahanan. Pasalnya, BIN menjadi mitra kerja Komisi I. Sedangkan pemberantasan terorisme menjadi tanggungjawab aparat penegak hukum kepolisian dan BNPT menjadi mitra kerja Komisi III.

“Harus dilihat penanganan terorisme mesti lebih komprehensif. Tetapi apakah benar revisi UU BIN untuk memberi kewenangan menangkap, saya rasa itu perlu kajian mendalam,” ujarnya, Selasa (19/1).

Anggota Komisi III itu berpandangan, kewenangan menangkap dan menahan orang  bersinggungan dengan penegakan hak asasi manusia. Ia berharap tugas BIN dan pemberantasan terorisme bertentangan dengan UU yang memberikan kewenangan terhadap lembaga seperti kepolisian, BIN dan TNI. Meski revisi terhadap kedua UU itu mesti didukung, namun itu tadi, tetap mengedepankan pengkajian mendalam.

"Saya cuma mohon satu hal, kita revisi UU bukan hanya lihat kejadian sesaat, tapi lihat urgensinya secara utuh dari proses pemberantasan terorisme. Jangan sampai merubah sesuatu tanpa adanya kajian dan penyusunan Naskah Akademik (NA) yang benar, jadinya nanti tambal sulam,” imbuh politisi Partai Gerindra itu.

Ketua DPR Ade Komarudin menambahkan, keharusan merevisi UU No.15 Tahun 2003 dan UU No.17 Tahun 2011 agar dapat memiliki kekuatan lebih dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Menurutnya, bila revisi terhadap kedua UU tersebut terkesan lamban, maka pemerintah dapat dimintakan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

“Intinya menyangkut masalah terorisme hal mendesak dan hukumannya harus mempunyai kekuatan hukum yang berikan kewenangan pada pemberantasan terorisme dilakukan aparat penegak hukum,” katanya.

Terpisah, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, menolak saran agar pemerintah menerbitkan Perppu sebagai jalan pintas menyelesaikan revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

“Menurut saya Perppu itu jangan diobral ya pada hal-hal yang memang kegentingan memaksa, yang sesegera. Karena memang ada sejumlah pasal kecil yang seharusnya bisa diubah dari revisi Undang-Undang Terorisme, kalau mau serius 2-3 hari selesai. Itu aja,” kata Tjahjo seperti dilansir situs Setkab.

Tjahjo mengatakan, yang penting Badan Intelijen Negara (BIN) itu  tidak sendirian, ada intel TNI, ada intel kepolisian, imigrasi, bea cukai, kejaksaan. “Yang penting tugas BIN adalah mengkoordinasikan. Itu aja intinya,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait