Romli Atmasasmita: Di Balik Perppu Ormas dan Kritik Kerasnya terhadap KPK
Wawancara

Romli Atmasasmita: Di Balik Perppu Ormas dan Kritik Kerasnya terhadap KPK

Kerap berseberangan dengan KPK, Romli tak takut bully. Ia mengaku tak takut melawan arus, meski cuma sendirian.  

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit

 

Sebagai perumus berbagai UU dan Perppu, tantangan yang Anda rasakan?

Tantangan terberat adalah mencari, memberi justifikasi alasan-alasan kepada publik, terutama publik yang punya kepentingan dengan perubahan UU itu. Saya selalu membagi alasan beberapa. Misalnya, alasan perundang-undangan itu sendiri. Bahwa UU yang kita sudah buat, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini. Misalnya, KUHP, tidak bisa menjangkau akibat-akibat yang sangat luas dari terorisme. Tidak bisa menjangkau perbuatan awal dari terorisme. KUHP, kalau ada niat jahat baru ada actus reus, perbuatan. Terorisme kan tidak melihat itu. Dia punya niat jahat, niat jahatnya nggak ketahuan, tiba-tiba bom meledak. Mau diapain, kalau menunggu bom meledak baru kita bertindak? Kalau hukum terlambat, banyak korban. Makanya (UU) terorisme kita ubah. Persiapan-persiapan saja sudah bisa dipidana.

 

Soal Tipikor, konsep awal, tidak boleh pembuktian terbalik. Beban pembuktian harus pada jaksa, bukan pada yang diduga melakukan tipikor. Kalau itu dilakukan akan sulit juga, karena tipikor tindak pidana extraordinary. Artinya, karena pelakunya biasanya high-level, korbannya juga banyak karena uang negara yang diambil. Karenanya, masalah teknis pembuktiannya agak sulit, tidak gampang. Makanya, kita masukan perubahan di UU Tipikor yang 31/1999 soal pembuktian terbalik. Jaksa yang buktikan, kamu juga buktikan dari mana uang kamu.

 

Jadi, sebenarnya persoalan mendasar, dari sisi akademis, teoritis, tidak sama dengan pandangan masyarakat terhadap perlunya perubahan UU itu. Sebab, bagaimanapun ada orang yang sudah enjoy dengan UU yang ada. Enjoy itu bisa memang merasa UU cukup memadai, ada juga memang orang yang merasa tersinggung kepentingannya dengan perubahan UU.

 

Bagaimana cerita dan latar belakang Anda diminta untuk merumuskan Perppu Ormas?

Saya kan staf khusus di Menko (Polhukam). Begitu Pak Wiranto jadi Menko, saya sudah diminta jadi staf khusus. Sudah jadi penasihat. Jadi, (ketika diminta merumuskan Perppu Ormas) saya bilang, boleh. Alasannya apa? Pak Presiden tahu nggak? Tahu, setuju. Alasannya apa? "Ya Pak Romli kan pengalaman". Begitu duduk (jadi staf khusus), dua hal yang saya minta. Masalah HAM, PKI (Partai Komunis Indonesia). (Kedua) Masalah ormas.

 

Kalau saya lihat di UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas disitu disebut semua Ormas harus berdasarkan Pancasila. Tujuannya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Tapi, kelihatannya ada ormas-ormas yang ucapannya, pernyataannya bertentangan dengan Pancasila. Misalnya, mengganti negara ini dengan khilafah. Khilafah kan tidak dikenal di UUD. Kalau khilafah kan Islam. Kita kan bukan negara itu. Artinya kok ada ormas yang begini? Dalam UU Ormas 17/2013 yang lama, dia harus melalui peringatan. Tiga kali peringatan, kemudian dia sudah diperingati, baru dihentikan kegiatan. Dihentikan kegiatan, beri waktu, sudah begitu, (setelah) penghentian kegiatan, baru naik ke pembubaran.

 

Nah, pembubaran itu prosesnya butuh waktu, dimana pemerintah harus menggugat ke pengadilan untuk pembubaran. Gugatan ke pengadilan itu saya hitung-hitung tidak cepat, lama. Gugat di pengadilan itu panjang ceritanya karena yang digugat ormas, maka paling ke TUN? Aneh, TUN kan bukan objek ormas, keputusan pejabat (TUN). Perdata? Perdata tuh puluhan hari, sampai ke MA (Mahkamah Agung), PK (peninjauan kembali).

 

Saya mau tanya, kalau ormas melakukan tindakan yang seperti ini dan sudah mengancam kedaulatan, pemerintah menunggu pembubaran sampai selesai? Menimbulkan chaos, pro kontra, lalu pemerintah bilang "oh nggak bisa". (Kalau pakai) KUHP saja tidak mungkin karena subjek hukumnya perorangan, bukan ormas, bukan perkumpulan.

Tags:

Berita Terkait