RPP Turunan UU Cipta Kerja Berpotensi Kerdilkan Pelayaran Nasional
Berita

RPP Turunan UU Cipta Kerja Berpotensi Kerdilkan Pelayaran Nasional

Keberpihak pada pelayaran nasional sangat penting. Pelayaran nasional punya andil historis dalam penyatuan wilayah Indonesia.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi pelayaran nasional. Foto ilustrasi: MYS
Ilustrasi pelayaran nasional. Foto ilustrasi: MYS

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran merupakan salah satu beleid turunan dari UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja telah mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Misalnya, pasal 5, pasal 9, pasal 13, pasal 27, dan pasal 28. Ada juga substansi yang ditambahkan ke dalam UU Pelayaran, seperti Pasal 14A. Rancangan Peraturan Pemerintah dimaksud kini sudah memasuki tahap akhir sebelum disahkan.

Perubahan dan ketentuan ini dinilai dapat mengubah arah kebijakan pelayaran nasional. Arahnya antara lain dapat dibaca dari materi muatan RPP tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran tersebut. Berdasarkan salinan yang dilihat hukumonline (draf versi 3 Februari 2021), RPP ini memuat 234 pasal. Termasuk pengaturan konsesi, yakni pemberian hak oleh penyelenggara pelabuhan kepada badan usaha pelabuhan untuk melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan kompensasi tertentu.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, berpendapat RPP sektor transportasi amanat UU Cipta Kerja berdampak pada kegiatan usaha pelayaran nasional. Berdasarkan konsep yang sudah disusun, tampaknya Pemerintah akan membuka lebar kegiatan pelayaran kapal asing masuk ke Indonesia melalui agen umum. Kebijakan baru berbeda dari Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan Perairan. PP ini menyebutkan pelaksana kegiatan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut khusus ke pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri, wajib menunjuk perusahaan angkutan laut nasional atau pelaksana kegiatan angkutan laut khusus sebagai agen umum.

Berdasarkan PP tahun 2010 ini, yang punya kewenangan untuk ditunjuk menjadi agen umum bagi angkutan laut asing pada angkutan laut khusus adalah perusahaan angkutan laut nasional dan pelaksana kegiatan angkutan laut khusus. Itu berarti yang berwenang adalah pihak yang memiliki kapal.

Sebaliknya, berdasarkan Pasal 44 RPP tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran, agen umum yang melakukan angkutan laut khusus dapat berupa perusahaan atau badan hukum yang tidak memiliki kapal. Agus berpendapat beleid baru ini berdampak pada kegiatan usaha kapal nasional, dan sebaliknya menguntungkan agen atau broker dalam kegiatan usaha angkutan laut di Tanah Air.

RPP menyebutkan pelaksana kegiatan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut khusus ke pelabuhan Indonesia atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri wajib menunjuk keagenan kapal. Berdasarkan Pasal 46 dan pasal 44 RPP, perusahaan asing dapat melaksanakan kegiatan perantara jual beli dan/atau sewa kapal. Syaratnya, perusahaan asing wajib mendirikan usaha patungan dengan perusahaan dalam negeri.

Pasal 5 UU Pelayaran hasil perubahan UU Cipta Kerja sebenarnya menegaskan bahwa pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, arah kebijakannya membuka ruang bagi pelaku usaha pelayaran asing untuk menjalankan kegiatan usaha, termasuk keagenan di Indonesia. Lihat misalnya tambahan pasal 14A dalam UU Pelayaran. Disebutkan bahwa sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia, kapal asing dapat melakukan kegiatan khusus di wilayah perairan Indonesia tetapi tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang. Ketentuan mengenai kegiatan khusus yang dilakukan kapal asing diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berkaitan dengan RPP turunan UU Cipta Kerja tersebut, Agus Pambagio secara khusus menyoroti pengaturan keagenan umum dan pemilik kapal. Permasalahan tidak akan muncul jika kebijakan yang ditempuh menempatkan agen dan pemilik kapal mempunya hak dan kewajiban yang sama. “Perusahaan nasional keagenan kapal atau perusahaan angkutan laut nasional harus mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Misalnya jumlah minimal yang disetor, jumlah SDM, dan persyaratan pendirian perusahaan,” ujarnya dalam diskusi ‘Dampak Kebijakan Transportasi Angkutan Laut pada Industri Nasional’, Kamis (4/2/2021).

Agus Pambagio juga berpendapat agen umum dan pemilik kapal adalah dua sektor bisnis yang tidak berimbang, dan hal ini dirasa agak merepotkan. Saat ini Pambagio sedang berusaha untuk mengembalikan peraturannya agar agen tetap berperan sebagai agen, yang dapat melakukan tugas-tugas administrasi, tapi tidak boleh mencari muatan. “Kalau dia (agen umum) mencari muatan, maka akan sama saja dengan calo. Hal ini akan mematikan perkapalan Indonesia,” ujarnya.

Akademisi Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), Tri Achmadi, mengatakan beleid baru dalam RPP dapat menimbulkan persaingan bisnis yang tidak sehat dalam industri pelayaran karena menyatukan dua kepentingan bisnis yang berbeda entitasnya. “Kebijakan apapun dalam transportasi laut harus mengacu pada fungsi utama dari transportasi tersebut, yaitu sebagai penghubung antar wilayah. Jangan sampai kebijakan itu nantinya mengalihkan fungsi infrastruktur berubah menjadi perang pasar,” tegas Tri.

Senada, Pengajar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengingatkan bahwa pelayaran punya nilai historis sebagai penghubung antar wilayah dan menyatukan wilayah Nusantara. Oleh karena itu para pembentuk peraturan perundang-undangan mempertimbangkan perlindungan pelayaran nasional. Dosen Universitas Khairun Ternate itu mengatakan RPP Penyelenggaraan Bidang Pelayaran merupakan konsekuensi langsung dari UU Cipta Kerja. Ia berpandangan proses pembentukan UU Cipta Kerja bermasalah, sehingga isinya pun berpotensi menimbulkan masalah, termasuk aturan turunannya.

Pasal 14A UU Pelayaran yang dimasukkan UU Cipta Kerja memberikan hak kepada kapal asing untuk beroperasi di Indonesia, dengan catatan sejauh belum tersedia di Indonesia atau moda transportasi di Indonesia belum memadai. Praktiknya, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan yang akan menentukan apakah kapal-kapal di Indonesia ini memadai atau tidak. “Persoalannya adalah bagaimana menempatkan kepentingan negara dalam pengelolaan. Seluruh sumber-sumber daya alam, termasuk laut, diabadikan untuk kepentingan nasional atau rakyat kita. Bagaimana laut itu kita gunakan untuk mensejahterakan rakyat kita, bukan untuk negara lain,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait