RUU Cipta Kerja di Mata Konsultan Ketenagakerjaan
Utama

RUU Cipta Kerja di Mata Konsultan Ketenagakerjaan

Pemerintah menegaskan omnibus law RUU Cipta Kerja melindungi pekerja. Serikat pekerja menolak RUU Cipta Kerja karena proses penyusunannya sejak awal sejatinya tidak melibatkan buruh.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ketua Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida. Foto: RES
Ketua Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida. Foto: RES

Pemerintah telah menyerahkan surpres, naskah akademik, dan draft omnibus law RUU Cipta Kerja kepada pimpinan DPR, Rabu (12/2/2020) kemarin. RUU Cipta Kerja yang diarahkan pada peningkatan kemudahan investasi demi pertumbuhan ekonomi ini memuat 11 klaster, 15 bab, 174 pasal, dengan 79 UU terdampak.      

 

Ketua Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI) Ike Farida melihat klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja telah mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru dalam tiga UU terkait ketenagakerjaan yakni UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; dan UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS.

 

Ike mencermati 6 ketentuan terkait ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. Pertama, RUU ini tidak mengubah signifikan ketentuan mengenai tenaga kerja asing (TKA). Pada intinya TKA tetap diwajibkan untuk memiliki pengesahan RPTKA dari pemerintah pusat. Kedua, pemutusan hubungan kerja (PHK), pemerintah akan membentuk program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JPK) bagi pekerja yang mengalami PHK. Manfaat program JPK ini meliputi pelatihan dan sertifikasi, uang tunai, serta fasilitas penempatan.

 

Ketiga, pesangon, Ike melihat RUU Cipta Kerja tidak mengubah Pasal 156 UU No.13 Tahun 2003 terkait formula besaran perhitungan uang pesangon. Padahal, sebelumnya ada wacana menyebut omnibus law bakal mencabut pasal ini. Bagi Ike, ketentuan ini sangat krusial untuk investor asing karena dianggap sebagai beban besar dalam proses PHK. Dia mengusulkan pasal ini diubah karena idealnya JPK dijamin dan dibayarkan oleh pemerintah, bukan oleh pengusaha dan pekerja.

 

RUU ini mengatur mekanisme pesangon tidak membedakan alasan PHK dan uang penggantian hak bukan kewajiban tapi bersifat opsional yang bakal diatur pelaksanaannya melalui Peraturan Pemerintah. Keempat, ada aturan baru mengenai penghargaan lainnya. Aturan ini mewajibkan pengusaha membayar maksimal 5 bulan upah kepada pekerja yang sudah bekerja lebih dari 12 tahun, 4 kali untuk yang telah bekerja 9 tahun dan seterusnya.

 

“Kami menilai kewajiban ini akan membebani pengusaha, karena wajib bayar paling lama 1 tahun sejak RUU Cipta Kerja diundangkan (bagi pekerja PKWT dan PKWTT) yang telah bekerja sebelum RUU disahkan,” kata Ike ketika dikonfirmasi, Jumat (14/2/2020). Baca Juga: Mempertanyakan Pasal UU Terdampak dalam Omnibus Law

 

Ike melanjutkan untuk menjalankan aturan mengenai “penghargaan lainnya”, pengusaha harus mengeluarkan banyak biaya. Meskipun ketentuan ini tidak wajib bagi pengusaha kecil dan mikro, tapi dirasa membebani pengusaha. Kemudian berpotensi membuat jera investor, bahkan calon investor bisa mengurungkan niat berinvestasi di Indonesia. Ketentuan ini malah bertentangan dengan tujuan RUU Cipta Kerja.

 

Kelima, RUU Cipta Kerja tidak banyak mengubah ketentuan terkait upah. Tapi kewajiban pemberian upah dalam hal pekerja mengambil cuti khusus/izin sebagaimana diatur Pasal 93 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003 mengalami perubahan. Dalam RUU Cipta Kerja, pekerja yang haid, menikah, menjalankan perintah agama, dan lainnya tidak lagi dibayar upahnya, dan harus mengambil cuti tahunan.

 

Keenam, RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003, sehingga membuat hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi lebih fleksibel dan tidak rigid. Pekerja PKWT juga mendapat uang kompensasi pada saat kontrak kerjanya berakhir dan/atau pekerjaan selesai dengan besaran yang ditetapkan pemerintah.

 

“Ini menguntungkan pekerja,” kata dia.

 

Lihat Isi Omnibus Law Selengkapnya:

 

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menegaskan komitmen pemerintah melindungi tenaga kerja dalam RUU tersebut. Dia juga mengklaim pembahasan sudah dilakukan bersama serikat buruh dan asosiasi pengusaha. Dalam pembahasan di DPR nanti, tentu saja para pemangku kepentingan akan dilibatkan. “Draftnya sudah kami serahkan. Selanjutnya tentu akan dibahas dan disempurnakan lagi bersama DPR,” kata dia.

 

Namun sebelumnya, Ketua Umum Kasbi Nining Elitos mengecam tindakan pemerintah yang mencatut nama organisasinya sebagai salah satu dari 14 serikat pekerja yang masuk dalam “Tim Koordinasi Pembahasan dan Sosialisasi Publik Substansi Ketenagakerjaan.” Kasbi yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) sejak awal menolak omnibus law yang sebelumnya RUU Cipta Lapangan Kerja karena proses penyusunannya sudah cacat sejak awal.

 

Tim koordinasi yang dibentuk pemerintah itu menurut Nining hanya “boneka” untuk melegitimasi proses penyusunan RUU yang selama ini sangat tertutup, tidak demokratis, dan hanya mengakomodir kepentingan pengusaha. “Ini jelas menyalahi asas keterbukaan seperti diamanatkan konstitusi, asas partisipasi masyarakat dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” tegasnya.

 

Koordinator Departemen Pendidikan KSN Novri Auliansyah menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan diam-diam dalam menyusun RUU Cipta Kerja dan tidak melibatkan masyarakat yang bakal terdampak seperti buruh, petani, nelayan dan masyarakat hukum adat. “RUU ini hanya akan mendatangkan investor buruk yang bakal mengeksploitasi sumber daya alam (SDA), melegalkan upah murah, sementara hukuman bagi pengusaha nakal hanya sanksi administratif,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait