RUU Kedokteran: Mengamankan Dokter, Mengabaikan Pasien
Fokus

RUU Kedokteran: Mengamankan Dokter, Mengabaikan Pasien

RUU Praktek Kedokteran disambut gembira oleh para dokter yang berharapprofesi mereka akan terlindungi Di sisi lain, RUU tersebut juga mendapat sorotan miring karena dinilai kurang memberikan perlindungan terhadap pasien.

Tri
Bacaan 2 Menit

 

Selain tidak adanya standar profesi dokter di Indonesia, menurut Marius, keberadaan dokter sebenarnya bukanlah profesi yang berdiri sendiri. Keberadaan profesi dokter sangat tergantung dengan profesi tenaga medis lainnya, seperti perawat, dan farmasi. Oleh karena itu, yang terpenting bukanlah membuat RUU Praktek Kedokteran, tetapi bagaimana membuat peraturan pelaksana dari Undang-undang Kesehatan (UU No. 23 tahun 1992).

 

"Yang kita perlukan adalah peraturan pelaksana dari UU Kesehatan bagi tenaga medis. Bukan undang-undang yang bersifat spesialis (RUU Praktek Kedokteran)," tegasnya.

 

Marius menyatakan, bahwa sebenarnya para dokter yang gigih memperjuangkan RUU Praktek Kedokteran tidak mengerti terhadap apa sesungguh profesi dokter itu sendiri. "Dokter itu bukan profesi mandiri. Kalau dokter takut diadili layaknya kriminal biasa, jangan salahkan aparat hukumnya. Itu salah para dokter sendiri, kenapa tidak mempunyai standar profesi kedokteran yang bisa dijadikan rujukan," tutur Marius yang juga seorang dokter.

 

Bertentangan

Keberadaan peradilan disiplin bagi profesi tenaga medis sebagaimana diusulkan dalam RUU Praktek Kedokteran diatas, ternyata memiliki kelemahan dari sisi yuridis. Pasalnya, keberadaan peradilan disiplin profesi kedokteran yang berkedudukan layaknya pengadilan ini ternyata bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman.

 

Berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman, sistem hukum di Indonesia hanya mengatur empat pilar peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.

 

Nah, untuk menyiasati persoalan yuridis ini, Departemen Kesehatan sudah menyiapkan draf tandingan RUU Praktek Kedokteran dengan membentuk Komite Disiplin Dokter (KDD) sebagai pengganti peradilan disiplin bagi profesi tenaga medis.

 

Namun, baik lembaga peradilan khusus dokter maupun KDD, Marius menilainya sebagai upaya para dokter untuk melakukan perlindungan terhadap dirinya sendiri, alias cari selamat. Sebut saja syarat menjadi hakim di peradilan khusus dokter ataupun KDD, yang mensyaratkan sarjana hukum tetapi memiliki pengalaman di bidang kesehatan. "Syarat ini kan aneh. Memang harus seorang sarjana hukum yang sekaligus dokter saja yang bisa menjadi hakim,"tegasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: