RUU Mahkamah Konstitusi Disetujui, Judicial Review Dibatasi
Mahkamah Konstitusi

RUU Mahkamah Konstitusi Disetujui, Judicial Review Dibatasi

Pengambilan keputusan terhadap RUU Mahkamah Konstitusi akhirnya dilakukan tanpa melalui pemungutan suara. Namun, masalah lain yang tidak kalah peliknya sudah menunggu di depan. Salah satunya adalah mengenai wewenang judicial review, dimana dalam RUU diatur bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD '45.

amr
Bacaan 2 Menit

Alhasil, untuk pasal 16 ayat (1) huruf d mereka sepakat dengan rumusan, "Berpendidikan sarjana hukum". Dan untuk pasal 49 A yaitu rumusan, "UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD '45". Khusus terhadap pasal 49 A, dalam penjelasannya disebutkan bahwa "yang dimaksud dengan 'setelah perubahan UUD 1945' adalah perubahan pertama UUD".

Penting pula untuk dicatat bahwa terdapat dua orang anggota DPR yang menyatakan menolak pengesahan RUU Mahkamah Konstitusi. Keduanya merupakan anggota DPR dari F-PDIP yaitu Trimedya Panjaitan dan Didi Suprianto. Baik Trimedya maupun Didi tetap keberatan jika UU Mahkamah Konstitusi membatasi UU yang bisa dimohonkan judicial review.

Bukan akal-akalan

Dalam sambutan yang disampaikan menjelang tengah malam, Menkeh dan HAM Yusril menyambut baik disetujuinya RUU Mahkamah Konstitusi oleh DPR tepat waktu. Yusril mengatakan bahwa keberhasilan tersebut menjadi bukti kepada masyarakat bahwa pemerintah dan DPR bekerja dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan pikiran dan tenaga.

Dalam pidato tanpa teks tersebut, Yusril juga mengatakan bahwa penyelesaian pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi sebelum 17 Agustus 2003 juga mematahkan kritik dari para pengamat yang menuduh pemerintah akal-akalan dalam menyusun RUU. "Malam ini semua orang menyaksikan bahwa semua pengamatan, semua kritik yang disampaikan itu tidak mempunyai alasan sama sekali," tegasnya.

Sebelumnya, Yusril telah menyampaikan surat kepada pimpinan DPR yang isinya menyatakan bahwa pemerintah mungkin akan mengambil sikap jika usulannya terkait dengan dua pasal itu gagal disetujui rapat paripurna. Menkeh mengisyaratkan akan adanya "kata akhir" dari pemerintah untuk menyatakan setuju atau tidak setuju atas RUU.

Meskipun penyampaian "kata akhir" dari pemerintah tidak diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR, namun berdasarkan pasal 5 dan 20 UUD '45 Presiden mempunyai hak untuk itu. Malah, sejak UUD '45 mengalihkan kekuasaan membentuk UU kepada DPR, maka seharusnya Presidenlah -- dan bukan DPR -- yang seharusnya memberikan kata akhir untuk menyatakan setuju atau tidak setuju atas sebuah RUU.

Menariknya, baru kali ini pemerintah menyampaikan surat yang isinya demikian rupa terkait dengan pengambilan keputusan sebuah RUU. Masalahnya, seperti dikatakan Yusril, jika ini berhubungan dengan RUU Mahkamah Konstitusi yang merupakan usul inisiatif DPR, toh pemerintah tidak mengajukan hal yang sama saat pengesahan RUU Sistem Pendidikan Nasional yang juga usul inisiatif DPR.

Selain kewenangan melakukan judicial review, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan-kewenangan lain yang sangat besar. Diantaranya, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pelanggaran yang dapat menjadi dasar impeachment terhadap Presiden/Wapres meliputi pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. RUU Mahkamah Konstitusi merinci lagi yang dimaksud dengan tindak pidana berat lainnya yaitu pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih. (Amr)

Tags: